Salah satu trek tanjakan di Papandayan |
Temen-temen sekalian,
Foto diatas familiar banget kan? Saya
begitu ketemu jalan seperti ini girangnya bukan main. Seneeeeng banget, sampe
pengen loncat-loncat rasanya. Itu adalah jalan di jalur menuju “Pondok Saladah”
camping ground di gunung Papandayan. Namun tracknya pendek, gak sampe 10 menit
sudah habis ^_^.
Beberapa waktu yang lalu,
secara tidak terencana saya ke Papandayan. Berawal dari telpon adik saya yang
memberitahu bahwa bapak saya sakit. Saya pun pulang ke Garut. Alhamdulillah sakit bapak tidak parah dan sudah mulai membaik.
Saya sampai ke rumah bapak hari Sabtu sore. Keesokan harinya saya berada di halaman belakang rumah sambil memperhatikan gunung Cikuray, dari dulu saya ingin mendaki ke puncak Cikuray, namun sampai sekarang belum kesampaian. Gak sempet melulu ^_^.
Halaman belakang rumah bapak, Gunung Cikuray tampak jelas dari sini |
Selagi asyik memperhatikan dan menerka kira-kira medan Cikuray seperti apa, tiba-tiba ada telpon masuk, rupanya dari kakak yang tinggal di Bandung. Dia mengatakan bahwa dia butuh Belerang.
Mendengar kata Belerang, maka hal pertama yang terlintas dibenak adalah Kawah
Papandayan.
Jadilah hari Minggu jam 11 siang saya ke
Papandayan, naik motor Mio punyanya keponakan. Sendirian ^_^. Gak bawa apa-apa,
cuma pake jaket parasit untuk naik motor, dompet & HP. Perjalanan dari
rumah bapak saya ke Kawah Papandayan kurang lebih 50 menit. Kita mengikuti
jalan utama, jalan Garut-Cikajang. Di alun-alun kecamatan Cisurupan, kita
memasuki jalan ke kawah. Pada mulanya jalan bagus, namun setelah melewati desa
terakhir, dan pemandangan berubah menjadi perkebunan sayur disambung hutan
pinus, jalanan mulai rusak dibeberapa tempat. Di jalan menjelang pos, ada plang
seperti foto dibawah:
Plang menjelang Kawasan Wisata Kawah Papandayan |
Di belakangnya adalah kawah Papandayan,
kawahnya luas, lebih luas dari kawah Gunung Gede.
Di pos terpampang baligo tariff masuk.
Tarifnya relatif murah, Rp. 7500,- /orang. Namun buat Wisatawan Mancanegara,
tarifnya 20x lipat. Saya sebenarnya tidak setuju bedanya sejauh itu. Jomplang
banget. Huh!
Tarif masuk |
Baligo itu ada di sisi kanan jalan, dan
disisi kiri jalan, terletak loket pembayaran karcis. Saya pun membayar disana,
Rp. 15rb (7500 orang + 7500 motor). Masuk ke tempat parkir, disitu banyak mobil
pickup. Belakangan saya tahu bahwa mobil pickup itu adalah sarana transportasi
utama, yang mengangkut pengunjung dari alun-alun kecamatan Cisurupan dibawah tadi, sampai ke kawah Papandayan ini. Ongkosnya 20rb/orang. Naik ojek juga bisa, ongkosnya 25rb
.
.
Setelah memarkirkan motor, saya melihat
sekeliling, ada jalan yang mengarah ke kawah, dari jalan itu berdatangan
orang-orang menggendong Carrier. Percaya atau tidak, saya senang banget melihat
orang-orang menggendong carrier. Serasa ketemu temen lama ^_^. Setelah
memastikan motor dan helm dikunci, saya memasuki jalan menuju ke kawah.
Di
tengah kawah saya sempat mengambil beberapa foto pake HP:
Suasana di dalam Kawah Papandayan |
Kondisi tanah di kawah cukup padat,
sehingga bisa dilewati motor, meski berbatu-batu. Di tengah perjalanan saya
berpapasan dengan sekelompok orang gendong carrier, mereka meminta bantuan saya untuk
mengambil foto mereka. Setelah selesai foto-foto, saya bertanya track ini
berakhir dimana? Kata mereka, berakhir di Camping Ground Pondok Saladah. Saya
nanya lagi, masih jauh gak? “lumayan, kira-kira 1,5 – 2 jam lah” jawab mereka.
Karena yang menjawab itu orang bawa carrier dan dalam rombongannya ada beberapa
orang perempuan, maka 2 jam berarti dekat ^_^.
Sejenak saya lupa tujuan utama saya kesini
yaitu untuk mencari belerang. Saya teruskan mengikuti track sampai ke ujung seberang kawah. Fotonya ini:
Ujung seberang Kawah Papandayan |
Dari tempat saya mengambil foto, jalur pendakian
ada disisi kiri, turun ke lembah, lalu naik, menyusuri jalan, dan melewati
celah yang terlihat difoto. Dibalik celah itu ada pos dan tukang warung. Keberadaan warung di jalur pendakian memang membantu namun sekaligus bikin ill feel ^_^. Karena mengurangi suasana "menjelajahi hutan".
Jalur pendakian setelah menyeberangi Kawah Papandayan |
Foto diatas adalah jalur yang akan
dilewati sebelum turun ke lembah. Ketika akan menuruni lembah, saya bertemu dengan sekelompok penduduk yang sedang berjibaku dengan motor yang dimuati pipa paralon.
Penduduk membawa pipa paralon untuk kebutuhan pengairan kebun Kentang |
Ketika saya tanya untuk apa pipa-pipa tersebut, mereka menjawab pipa itu untuk mengalirkan air dari gunung ke perkebunan kentang. Rupanya di balik gunung itu ada perkebunan kentang.
Setelah turunan tadi, kita akan sampai di lembah. Di lembah terdapat sungai/selokan sempit, namun airnya cukup deras.
Sungai kecil di Lembah |
Setelah melewati selokan ini, mulailah
track nanjak seperti yang di foto awal tadi. Sayang tracknya pendek. Setelah
tanjakan habis, kita akan bertemu dengan jalan cukup lebar. Dari jalan besar ini, jika kita melihat kembali ke belakang pemandangannya seperti ini:
Pemandangan setelah tanjakan |
Di sisi kanan foto kita lihat gunung yang seolah terbelah. Kondisi itu terjadi sepertinya akibat letusan terakhir gunung Papandayan yang terjadi tahun 2002 silam. Letusan yang terjadi tahun 2002 itu juga banyak merubah wajah kawah Papandayan. Tadinya kawah itu ada beberapa ceruk, namun setelah letusan berubah menjadi satu wilayah kawah yang luas.
Dari jalan lebar, kita lalu masuk ke
celah. Dan dibalik celah kondisinya seperti ini:
Pos lapor sebelum camping di Pondok Saladah |
Celah darimana kita masuk, berada di sebelah kanan foto.
Terlihat sekelompok orang pake motor trail. Karena memang tracknya seru juga
jika pake motor trail. Adapun tenda yang sedang dirubung orang-orang di
belakang, itu adalah pos pemeriksaan. Jadi sebelum & sesudah berkemah harus
lapor di pos itu.
Jika dari tempat saya mengambil foto ini,
saya balik kanan, maka yang terlihat adalah jalan menuju Pondok Saladah:
Jalur menuju Pondok Saladah |
Di tempat ini ada warung, disini saya
menyempatkan minum air jeruk. Sambil tanya-tanya apakah pondok Saladah masih
jauh. Kata si ibu warung, deket, gak sampe setengah kilo. Ya udah sekalian aja
kesana ^_^ tadinya saya pikir kalau masih jauh saya balik lagi aja, karena
tujuan awal saya kan cuma mau cari belerang ^_^. Tapi karena sudah dekat,
sayang banget kalau dilewatkan. Di warung itu saya juga bertanya apakah ada
yang menjual belerang? Kata si ibu coba di pos bawah, cari warung pak Dedi, dia
biasanya ada. Ok deh. Next stop Pondok Saladah.
Jalur ke Pondok Saladah datar-datar saja.
Kira-kira seperti ini:
Fangorn Forest versi Papandayan ^_^ |
Saya jadi inget film Lord of The Ring, di
hutan Fangorn, dimana pohonnya bisa jalan dan bisa ngomong ^_^
Gak sampe lima menit dari warung tadi,
sampailah ke Pondoh Saladah Camping Ground:
Pondok Saladah / Seladah Camping Ground |
Tempatnya bagus, malahan ada
MCK-nya. Jadi lebih sehat dan nyaman ^_^
MCK di Pondok Saladah Camping Ground, Papandayan |
Saya pun sempet narsis di bawah plang
Pondok Saladah
Narsis di plang Pondok Seladah, Papandayan |
Sebelumnya saya tidak tahu track pendakian
Gunung Papandayan itu seperti apa. Dan karena rombongan yang ketemu di kawah
tadi bilang bahwa track ini berakir di Pondok Saladah, maka saya kira, saya
sudah sampai di tujuan akhir. Padahal sebenarnya bukan, dan ini saya ketahui
lama setelahnya. Tujuan akhirnya tetep puncak gunung Papandayan. Pondok Saladah
hanya semacam “Kandang Badak”-nya saja.
Di Pondok Saladah ini, saya mikir: “That’s
it? Cuman segini doang?” Ini mah bukan hiking namanya. Piknik ^_^. Kalau cuman
buat seneng-seneng, ke Papandayan ok lah, tapi kalau buat Hiking serius untuk
menempa mental dan fisik, it’s nothing. Well… ok let’s call it an appetizer….
no… a snack.
***
Temen-temen sekalian,
Kalimat saya yang terakhir adalah tanda
bahwa si Irpan itu orang yang sombong. Dan kejadian yang saya alami ketika saya
turun kembali dari Pondok Saladah ke parkiran, membuat saya merenung dan
menyadari bahwa saya telah bersikap sombong.
Setelah puas “meremehkan” Papandayan, saya
pun turun lagi. Saya menapaki jalur dengan setengah berlari, bagaimanapun saya
mesti hati-hati, karena saya gak pake sepatu atau sandal gunung, saya ke
Papandayan pake sendal ke Mall. Di beberapa tempat sempet juga mengambil foto,
malah saya memfoto sandal Mall saya ^_^
Sandal Mall di gunung ^_^ |
Di pertengahan jalan saya bertemu dengan
rombongan motor trail tadi. Mereka sedang bergiliran melewati track yang sempit
dan cukup berbahaya, di sisi kiri tebing sedang di sisi kanan jurang. Melihat
motor saya jadi inget motor mio punya keponakan, dan ingat motor saya jad ingat
kunci. Oh iya kunci! Reflex saya merogoh kantong celana sebelah kanan yang saya
inget tadi nyimpen kunci motor disana. Ternyata saku itu kosong. Saya teruskan
mencari di semua kantong celana dan jaket, gak ada juga.
Waduh, panjang nih urusan, pikir saya.
Sebersit harapan muncul, mudah-mudahan aja kunci itu tertinggal menggantung di
motor. Namun saya inget banget, kunci sudah saya kantongi. Berarti kunci jatuh,
karena di saku itu saya juga menyimpan HP, dan HP dari tadi keluar masuk untuk
mengambil foto. Rupanya saking excitednya dengan suasana, saya tidak ngeh bahwa
kunci jatuh.
Disitu saya mempertimbangkan beberapa
scenario. Saya naik lagi ke Pondok Saladah untuk mencari kunci, atau tetep turun
sambil mencari kunci. Akhirnya saya memutuskan untuk ke atas lagi. Kali ini
waktu tempuhnya jadi agak lama karena sambil jalan saya memperhatikan sekitar
kalau-kalau kuncinya tergeletak disana. Ketika berpapasan dengan rombongan lain
pun saya menyampaikan pesan, kalau-kalau di jalan mereka menemukan kunci motor,
tolong titipkan di pos. Mereka pun dengan senang hati menyanggupi. I love
Hiker’s Brotherhood ^_^.
Sampai pondok Saladah gak ketemu juga itu
kunci. Ketika itu cuaca lebih terang, saya pun mengambil lagi foto, kali ini
pemandangannya lebih kelihatan.
Suasana Pondok Seladah ketika cuaca terang |
Di foto terlihat celah
membelah hutan, saya memperkirakan itu adalah jalur pendakian menuju “Tegal Alun”, Padang
Edelweiss yang ada dibalik gunung. Sepertinya, dibalik gunung itu kita ke kiri
membelah padang Edelweis menuju puncak gunung Papandayan.
Hutan Mati di kejauhan |
Pada foto diatas kita lihat ada bagian hutan yang tanahnya putih. Sepertinya itu hutan mati yang
dimaksud orang-orang.
Kembali ke cerita kunci hilang, setelah
memastikan kunci tidak ada saya pun turun sambil memikirkan scenario
berikutnya, jika di jalan kunci tidak ditemukan, dan di pos pun tidak ada,
berarti saya sewa ojek pulang ke rumah keponakan untuk mengambil kunci
cadangan, dan balik lagi ke Papandayan -_-‘. Itulah “Worst Case Scenario”-nya.
Maka saya pun memantapkan langkah, turun lagi setengah berlari karena hari
makin sore.
Di perjalanan cuaca cukup cerah. Namun
begitu memasuki daerah kawah lagi, kabut tebal turun disertai hujan cukup deras
dan angin. Saya segera memburu pohon Cantigi terdekat dan berteduh dibawahnya.
Apes deh, mana gak bawa perlengkapan apapun. Boro-boro jas hujan, topi aja
nggak. Jaket parasit yang saya bawa gak ada tutup kepalanya. Awalnya sih aman,
tapi lama-lama air menetes dari sela daun. Mau gak mau jadi basah juga. Hemm..
diem basah jalan juga basah, mending jalan sekalian, pikir saya. Akhirnya saya
pun meneruskan perjalanan ditengah hujan dan kabut tebal. Saya memasuki kawah
sendirian, dibelakang agak jauh ada serombongan hiker, tapi gak tahu mereka
masuk juga gak ke kawah.
Seru juga jalan di tengah kawah,
diselimuti kabut tebal dan diguyur hujan. Serasa berjalan di planet
antah-berantah sambil mandi air kulkas ^_^ Di tengah jalan, hujan reda, namun
suasana masih berkabut. Saya pun menyempatkan mengambil foto suasana sekitar:
Kabut pekat di tengah Kawah Papandayan |
Selagi menikmati suasana ngeri-ngeri sedap
begitu, saya jadi teringat cerpennya teman saya Ian yang bercerita tentang seorang pendaki gunung Gede bernama Wita yang ketika pulang “isinya bukan Wita” lagi. Ingat cerpen tersebut saya jadi berkhayal: “Jangan-jangan gue yang sedang
berjalan ini sebenarnya cuma rohnya doang, sedang jasadnya tergeletak entah
dimana, mati kedinginan”. Mikir begitu, mau gak mau saya merinding juga ^_^
ngebayangin jadi arwah tersesat yang gentayangan di kawah berkabut sampai dunia
kiamat. Segera saya menepis khayalan tersebut, kemudian mengucap mantra favorit
saya: So be it! Yang terjadi terjadilah.
Saya pun meneruskan perjalanan. Agak sulit
juga menemukan track yang jadi “jalan utama” karena jarak pandang yang sangat
pendek akibat tertutup kabut. Selain itu dibeberapa tempat, tanah berubah jadi
sungai kecil. Tak jarang saya mundur kebelakang karena tercegat aliran air
cukup deras. Saya mesti mundur dan mencari tempat yang banyak batunya supaya
bisa dilompati.
Satu-satunya panduan yang bisa saya
gunakan adalah batu-batu bertulis. Para pendaki maupun pengunjung suka iseng
menulis nama mereka atau grup mereka di batu-batu dengan menggunakan spidol,
tip ex atau Pilox. Sepanjang saya masih menemukan batu bertulis, berarti saya
berada di jalan yang benar. ^_^
Alhamdulillah, tak berapa lama saya
mendengar riuh suara orang diselingi suara mesin, berarti tempat parkir gak
jauh lagi. Dan benar didepan sudah tempat parkir, namun sama saja, tempat
parkir pun ditutup kabut yang tebal. Orang-orang riuh teriak-teriak senang.
“Woi lo dimana?” “gue disini” “kagak keliatan” “ya iya lah, ketutup kabut, lu lagi”
^_^
Kalau rame-rame gitu sih diselimuti kabut
tebal begini malah seneng, coba kayak pengalaman saya barusan, sendirian berada
di planet antah-berantah sambil mandi air kulkas. Ngeri-ngeri sedap.
Hal pertama yang saya lakukan adalah
menuju ke tempat parkir, dan benar saja, kunci motor tidak ada. Saya coba
ngomong ke tukang parkir yang jaga motor, barang kali dia nemu kunci
ngegantung. Dia bilang tidak. Waduh… masa harus jalankan “Worst Case Scenario”
sih, males banget pikir saya. Saya coba ke loket tempat bayar tiket tadi, dan
menanyakan ke sana. Disana pun gak ada.
Untunglah saya tidak harus nyewa ojek
balik ke rumah untuk ngambil kunci cadangan. Ketika balik ke tempat parkir, si
penjaga parkir bilang bahwa temennya tadi ketitipan kunci motor yang ditemukan
Hikers di jalur. Alhamdulillah….. lega banget rasanya. Berkali-kali saya
mengucapkan terima kasih ke mereka.
Setelah kunci ditemukan, saya jadi inget
tujuan utama saya datang kesini yakni cari belerang. Saya pun mencari warung pak
Dedi, setelah ketemu saya memesan Indomie rebus pake telor dan memakannya di
depan tungku. Karena badan dan baju saya basah kuyup.
"Siduru" di depan tungku |
Selesai makan, saya membeli belerang ke
dia kemudian pulang.
Di perjalanan pulang saya merenung, jika
saja gak ada insiden kunci jatuh, sebelum turun kabut saya harusnya sudah
berada di parkiran bahkan mungkin sudah pulang. Namun rupanya saya harus
menikmati mandi air kulkas dulu di tengah kawah. Semua kejadian yang serba
kebetulan itu memberikan pelajaran pada saya: JANGAN SOMBONG!
Posting Komentar
Posting Komentar