Pemandangan Kawah Ratu dilihat dari jalur pendakian G. Salak |
Alhamdulillah saya telah menginjakkan kaki di Puncak Salak 1, Gunung Salak. Gunung yang terletak di perbatasan Kab. Bogor dan Kab. Sukabumi ini menjulang setinggi 2.211 mdpl. Jika melihat tingginya, G. Salak memang lebih rendah dari tetangganya G. Gede (2.958 mdpl) dan G. Pangrango (3.019 mdpl). Namun kalau kita mendakinya, bisa dikatakan medannya lebih berat dari medan pendakian gunung tetangganya itu. Hal ini karena jalur pendakiannya yang benar-benar masih alami. Jalurnya masih berupa jalan setapak yang belum banyak dipolas-poles. Bekas-bekas jamahan tangan manusia di jalur hanyalah berupa patok-patok beton penanda jarak setinggi 1 meter yang di cat hitam hijau. Patok-patok ini ditanam setiap jarak 100 m.
Pada pendakian kali ini kami berdelapan: Saya, si 4 Sekawan, Reza, Wildan, Mufidz dan Yogi dan 3 orang lainnya masih terhitung saudara juga, Fahmi, Bahrul dan Kohar. Kohar adalah anggota rombongan yang paling muda, dia masih kelas 3 SMP. Sedang yang paling tua saya ^_^ Kami mendaki melalui pintu desa Gunung Menir. Karena kebetulan tempat ini tidak jauh dari kampungnya si 4 Sekawan. Untuk mencapai pintu ini kalau dari Stasiun Kereta Bogor, kita mesti naik angkot 3 kali lagi. Yang pertama dari Stasiun Bogor – Term. Bubulak. Terus nyambung angkot Term. Bubulak – Leuwiliang, turun di perempatan Cemplang. Nah dari perempatan Cemplang ini, tidak ada angkot yang bertrayek ke G. Menir, jadi mesti nyarter Angkot. Perkiraan ongkosnya 10rb-20rb/orang.
Mengisi perbekalan di salah satu Warung |
mulai dari air mineral, mie instan, bumbu-bumbu, minyak goreng, baterai, lilin, dsb. Warungnya lumayan lengkap.
Kompleks G. Salak |
Ujung peradaban |
Bendungan |
Kami tidak tahu bahwa di bendungan ini, besoknya ketika pulang, kami semua akan mengalami peristiwa yang mengagetkan, menyakitkan, dan menghisap semua semangat kami. Sehingga kami pulang dengan mulut terdiam dan kepala tertunduk.
Welcome to the Jungle |
Sumber air di Simpang Bajuri |
Mendengar namanya “Bajuri” pikiran kita mungkin akan melayang ke sebuah acara TV yang bertajuk “Bajaj Bajuri”. Tebakan kita itu agak-agak benar juga. Kalau mendengar cerita dari sesama pendaki, nama Bajuri di Simpang Bajuri ini memang diambil dari nama orang. Dulu katanya suka ada orang jualan di tempat ini, namanya pak Bajuri. Akhirnya tempat ini pun akrab disebut Simpang Bajuri.
Sumber air disini berupa selokan kecil berair jernih. Sebelum dan sesudah selokan terdapat ruang cukup luas yang biasa dijadikan tempat camping. Namun kami tidak berencana camping disini. Kami mau langsung menuju puncak.
Maksi |
Kami mengisi botol-botol air yang kami bawa. Beberapa botol ukuran 600 ml, 4 botol ukuran 1,5 liter dan yang paling besar adalah botol berukuran 10 liter! Botol ini dimasukkan ke dalam tas Carrier yang dikhususkan untuk membawa air. Isi dari tas ini hanya botol 10lt tsb dan beberapa helai pakaian. Tas ini sengaja dikosongkan, soalnya kalau ditambah beban yang lain, kasihan yang bawa. Air 10 liter itu entah berapa Kg beratnya.
Dalam rombongan kami tidak semua orang membawa beban, dan bebannya pun bervariasi. Ada yang membawa tas Carrier ukuran 80 lt, ada yang membawa ukuran 50 lt, dan ada yang membawa tas daypack biasa malah ada yang lenggang kangkung tidak membawa apa-apa. Namun jangan sirik dulu. Formasi ini bertujuan untuk berbagi beban dan istirahat bergiliran. 1 orang bebas ini bisa menyimpan tenaganya, sehingga ketika ada anggota rombongan yang kelelahan, bebannya bisa diambil alih oleh orang yang bebas tadi. Nah si orang yang kelelahan ini bisa beristirahat memulihkan tenaganya tapi dia tetap jalan tidak berhenti. Otomatis rombongan pun tetap berjalan, tidak berhenti. Dengan demikian waktu perjalanan bisa dihemat karena kita sesedikit mungkin berhenti.
Dari Simpang Bajuri ke puncak jaraknya 5 km. Ini diketahui dari patok-patok yang saya ceritakan tadi, jumlahnya ada 50. Namun jarak yang “hanya” 5 km ini harus kami tempuh selama 4 jam lebih! Ini dikarenakan beratnya medan yang harus dilalui.
Tanjakan yang harus dipanjat |
Jurang di jalur maut |
Jalur maut ini lumayan panjang, mungkin 3 atau 4 patok sekitar 300-400 meteran. Namun ketika melewatinya pertama kali, terasa jauh sekali, seakan jalur ini tak habis-habis. Jalur ini berakhir di Puncak Bayangan. Disini ada dataran lumayan luas, bisa muat 3 tenda ukuran sedang. Disebut Puncak Bayangan karena bentuknya yang kerucut mirip puncak gunung namun posisinya lebih rendah dari puncak Salak 1. Puncak Bayangan dan Puncak Salak ini ibarat Unta berpunuk dua namun tingginya berbeda.
Nah dari Puncak Bayangan ke Puncak Salak inilah track paling berat menunggu. Kalau tadi kita masih bisa menikmati beberapa jalan landai bahkan menurun. Selepas Puncak Bayangan, kita akan turun sedikit setelah itu kita harus menapaki tanjakan yang tak berkesudahan. Dan lebih dari itu, banyak diantara tanjakan tersebut demikian tinggi dan hampir tegak lurus sehingga untuk melewatinya kita harus dibantu tali-tali.
[Bukan] Spiderman |
Tak jarang kami harus merangkak untuk bisa melewati tanjakan dan melangkah maju. Dengan nafas satu-satu kami berpacu dengan waktu untuk mencapai puncak Salak 1.
G. Pangrango dan G. Gede di arah Tenggara |
Alhamdulillah menjelang Maghrib sampailah kami ke puncak Salak 1. Disini terdapat dataran cukup luas namun terpisah-pisah oleh gerumbulan semak-semak. Sudah lumayan banyak tenda yang berdiri disini, meski demikian masih ada juga tempat kosong cukup luas. Rombongan kami membawa tenda jenis tenda rumah/tenda pramuka, bukan tenda dome. Karenanya kami membutuhkan area yang lumayan luas. Dan kebetulan sekali area itu hanya terdapat tepat disamping kuburan ^_^. Oh iya, di Puncak Salak ini terdapat satu kuburan. Pada nisannya tertulis “Raden K. H. Moh. Hasan bin R. K. H. Bahyudin Braja Kusumah (Embah Gunung Salak), puncak manik gunung salak” Kalau kata cerita mulut ke mulut sih, beliau ini adalah orang yang menyebarkan agama Islam di wilayah sekitar gunung Salak.
Jika kita menghadap ke Tenggara, kita bisa melihat puncak G. Pangrango dan G. Gede. Bisa dilihat di foto diatas, tampak puncak Pangrango di sebelah kiri dan disebelahnya puncak G. Gede. Di puncak Salak ini masih banyak pohon tinggi. Jadi pemandangan tidak bisa lepas. Namun demikian dibeberapa tempat terdapat “jendela” yang memberikan pemandangan yang sangat menakjubkan.
Kami sangat beruntung karena baik ketika mendaki, camping di puncak dan turun gunung sampai kembali di rumah, cuaca sangat bersahabat, tidak turun hujan. Kalau sampai hujan, apalagi saat di jalur (naik maupun turun) gak kebayang deh sengsaranya seperti apa. Hanya saja mungkin karena kemarau, di puncak Salak angin bertiup kencang sekali. Tenda kami yang sederhana sampai bergoyang-goyang dipermainkan angin. Malah di malam harinya terjadi insiden kecil, yakni tiang penyangga tenda kami yang terbuat dari kayu sampai jatuh ditiup angin. Yang apes tertimpa tiang jatuh ini adalah Reza.
Perjalanan naik tadi sungguh sangat menguras tenaga kami semua. Karenanya setelah tenda berdiri, kita semua segera masuk kedalamnya untuk melepas lelah. Tenda yang kami bawa cukup besar bisa muat sampai 12 orang. Sedangkan anggota rombongan ada delapan. Lumayan ada tempat sisa buat jadi “dapur” sehingga kegiatan memasak bisa dilakukan di dalam tenda.
Suasana di dalam tenda |
Ngomong-ngomong dapur, acara makan kami sangatlah istimewa. Karena tidak ada seorangpun dari kami yang membawa peralatan makan, tak ada yang bawa sendok, piring, maupun gelas. Yang kami bawa hanyalah kompor, panci dan wajan. Sodetpun gak ada. Menu makanannya adalah mie instan. Ketika memasak, untuk mengaduk mie, kita menggunakan batang kayu yang kulitnya dikupas kemudian dibentuk pipih. Begitu hidangan siap, mie tidak dituang ke piring atau apapun, kami makan langsung dari wajan. Ya begitulah “Table Manner” di puncak gunung ^_^ Namun jangan salah, lezatnya gak kalah dengan waktu makan di restoran.
"Table Manner" |
Malam berlalu tanpa insiden berarti kecuali tiang tenda yang jatuh yang saya ceritakan tadi. Namun malam terasa lama karena tidurnya tidak bisa nyenyak, sebentar-sebentar terbangun, sebentar-sebentar terbangun. Tapi itu normal. Pengalaman saya naik gunung, kalau tidur di tenda ya kayak begitu. Mungkin karena kita tidur di tanah sehingga kurang nyaman kali ya? Ya iya lah, namanya juga camping di alam terbuka, kalau tidur mau nyaman mah jangan ke puncak gunung, tapi ke hotel bintang lima. ^_^
Suasana Sun Rise |
Me and the Nature |
Sang Merah Putih |
Sekitar jam 8:30 kami kemas-kemas untuk pulang. Sebelum pulang saya menyempatkan mengunjungi makam dan membacakan surat Al-Fatihah 3x, yang pertama untuk arwah yang dikubur disitu, yang kedua untuk orang-orang tua kakek nenek kerabat leluhur saya yang sudah meninggal dan yang ketiga untuk segenap muslimin-muslimah.
Setelah itu kami pun turun gunung.
Waktu tempuh turun gunung lebih cepat daripada naik kemarin. Puncak – Simpang Bajuri yang kemarin harus ditempuh selama lebih dari 4 jam, ketika turun hanya butuh 1,5 jam saja. Mungkin selain karena jalannya menurun, beban bawaan kami juga sudah jauh berkurang. Sehingga kami bisa berjalan lebih cepat. Namun demikian, kita jangan berjalan terlalu cepat dan tetap harus memperhatikan jalan yang akan kita pijak. Kita gak bisa sembarangan melangkah karena di jalan banyak sekali akar-akar pohon yang mencuat. Berkali-kali kaki saya tersandung akar pohon karena kurang hati-hati. Untunglah meski memakai sendal gunung, saya mengenakan kaos kaki sehingga ketika tersandung, kaki saya tidak luka. Namun tetap saja sakit. Selain akar pohon, bahaya lainnya yang mengancam adalah terpeleset. Karena terkena embun dan kabut, jalan menjadi agak licin. Pada turunan yang berupa tanah, jalannya bisa menjadi sangat licin, sehingga kalau kita tidak berhati-hati kita bisa tergelincir dan jatuh kebawah. Kalau sampai jatuh, kaki/tangan bisa patah atau minimal keseleo.
Pemandangan sisi Barat G. Salak |
4 Sekawan di turunan curam |
Safety First |
Ketika turun saya sempat terpeleset beberapa kali, dan pada satu kejadian terpeleset saya mendapatkan “oleh-oleh” berupa luka di telapak tangan. Luka ini saya dapatkan ketika menekankan tangan ke bawah untuk menahan jatuhnya badan. Namun saya tidak tahu dibawah itu ada akar pohon yang mencuat dan cukup tajam. Jadilah tangan saya jatuh tepat diatas akar pohon mencuat tadi. Hasilnya ya begini:
"Souvenir" he..he.. |
Kami berencana untuk beristirahat disini sekalian menghabiskan bekal. Kami mau memasak nasi liwet. Pada awalnya semua semangat melihat beras yang sedang dimasak dan dibubuhi berbagai bumbu, air liur kami menetes. Sambil menunggu anak-anak itu riuh bercanda.
Memasak Nasi Liwet |
Namun beberapa menit kemudian terjadilah peristiwa yang memusnahkan semua nafsu makan kami bahkan mampu merenggut keceriaan si 4 sekawan. Setelah kejadian itu, kami pulang dengan kepala tertunduk dan tak seorang pun yang berkata-kata.
Insiden dimulai dengan hinggapnya seekor lebah di kepala Mufidz. Awalnya semua berusaha tenang. Namun sang lebah ternyata tidak beranjak pergi juga dari kepala Mufidz, hal ini membuat Mufidz mulai panik. Temannya Wildan berusaha mengusir lebah tersebut. Namun ternyata tindakan ini ibarat genderang perang. Gerakan tangan Wildan membuat si lebah merasa terancam dan tak ampun lagi dia pun menyengat kepala Mufidz. Merasakan kepalanya disengat, Mufidz pun berteriak, kaget dan sakit. Melihat temannya berteriak kesakitan, yang lain heboh dan berusaha menyentil tubuh lebah. Lebah itu pun terpental dan tercampak di air. Semua menarik nafas panjang. Tak lama semua tertawa terbahak sambil meledek Mufidz. Sedangkan si korbah meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya.
Namun keceriaan itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba dikepala saya terasa ada yang hinggap. Tak sampai satu detik, kepala saya terasa ditusuk sesuatu, sakit dan panas. “Engang! Engang!” Anak-anak yang lain ribut berteriak. Engang adalah Bahasa Sunda untuk Lebah. Entah dari mana datangnya, diatas kepala kami beterbangan banyak sekali lebah. Semua jadi panik. Setelah mendapat serangan pertama, datang lagi serangan berikutnya. Kepala saya disengat untuk kedua kalinya. Mungkin karena kepala saya rambutnya sedikit, sehingga memudahkan si Lebah menyerang. Kesakitan, saya pun lari menjauh. Namun rupanya lebah-lebah itu belum puas. Mereka terus mengejar saya. Sekilas saya melihat yang lain pun tak kalah sibuk melindungi diri. Kebetulan mereka memakai jaket tebal bertutup kepala. Ada juga yang memakai topi. Sehingga meski serangan lebah bertubi-tubi mereka cukup terlindungi. Yang apes saya ^_^ tidak menggunakan jaket, kepala plontos, habis deh. Tak kurang dari 6 sengatan saya terima. 5 di kepala dan 1 di jempol tangan kanan.
Untunglah serangan lebah itu segera berakhir. Setelah suasana reda kami pun kembali berkumpul di seputar kompor. Namun tidak ada lagi air liur yang menetes, tidak ada lagi rasa lapar, nafsu makan pun sirna. Yang kami rasakan hanya kaget, sakit, lelah. Nasi pun matanglah sudah. Mau tidak mau kami memakannya. Rasanya memang enak, tapi kami sudah kehilangan selera. Akhirnya nasi banyak yang tersisa. Untunglah di bendungan itu banyak ikan seukuran 2-3 jari. Nasi sisa ini pun dimasukkan ke air, daripada dibuang percuma mendingan jadi rejekinya Ikan.
Selesai makan kami pun kemas-kemas. Selagi kemas-kemas begitu, saya mulai merasa wajah saya bengkak. Kalau sakit memang dari tadi juga sakit. Di bagian yang disengat, terasa bagai ditusuk jarum dan terasa panas. Tiap kali nadi berdenyut, tiap kali itu juga kulit yang disengat terasa bagai ditusuk jarum. Sekarang ditambah lagi wajah saya terasa bengkak dan panas. Begitu saya bertanya pada yang lain, mereka bilang wajah saya menjadi merah namun tidak bengkak. Saya pun mengabadikan momen langka ini. Momen wajah korban sengatan lebah ^_^
Korban sengatan Lebah |
***
Posting Komentar
Posting Komentar