About


Hi, my name is Irpan. I live in Indonesia. This blog is to provide you with my trip stories, my ideas and some other things.

Facebook

BloggerHub

Connect with me

Jadwal Sholat

Lebah-lebah gunung Salak

Posting Komentar


Pemandangan Kawah Ratu dilihat dari jalur pendakian G. Salak
Foto diatas adalah pemandangan Kawah Ratu (area yang tanahnya putih di tengah). Gimana? indah bukan?  Padahal tempat dimana saya berdiri untuk mengambil foto ini, tidak bisa dikatakan indah. Karena jika saya melangkah kedepan 2 langkah saja, tanpa ampun tubuh saya akan meluncur ke jurang yang sangat curam yang saya tak tahu berapa ratus meter dalamnya. Kecuali ada keajaiban, bisa dipastikan orang yang jatuh dari tempat ini akan berpindah alam ke alam Barzakh.

Alhamdulillah saya telah menginjakkan kaki di Puncak Salak 1, Gunung Salak. Gunung yang terletak di perbatasan Kab. Bogor dan Kab. Sukabumi ini menjulang setinggi 2.211 mdpl. Jika melihat tingginya, G. Salak memang lebih rendah dari tetangganya G. Gede (2.958 mdpl) dan G. Pangrango (3.019 mdpl). Namun kalau kita mendakinya, bisa dikatakan medannya lebih berat dari medan pendakian gunung tetangganya itu. Hal ini karena jalur pendakiannya yang benar-benar masih alami. Jalurnya masih berupa jalan setapak yang belum banyak dipolas-poles. Bekas-bekas jamahan tangan manusia di jalur hanyalah berupa patok-patok beton penanda jarak setinggi 1 meter yang di cat hitam hijau. Patok-patok ini ditanam setiap jarak 100 m.

Pada pendakian kali ini kami berdelapan: Saya, si 4 Sekawan, Reza, Wildan, Mufidz dan Yogi dan 3 orang lainnya masih terhitung saudara juga, Fahmi, Bahrul dan Kohar. Kohar adalah anggota rombongan yang paling muda, dia masih kelas 3 SMP. Sedang yang paling tua saya ^_^  Kami mendaki melalui pintu desa Gunung Menir. Karena kebetulan tempat ini tidak jauh dari kampungnya si 4 Sekawan. Untuk mencapai pintu ini kalau dari Stasiun Kereta Bogor, kita mesti naik angkot 3 kali lagi. Yang pertama dari Stasiun Bogor – Term. Bubulak. Terus nyambung angkot Term. Bubulak – Leuwiliang, turun di perempatan Cemplang. Nah dari perempatan Cemplang ini, tidak ada angkot yang bertrayek ke G. Menir, jadi mesti nyarter Angkot. Perkiraan ongkosnya 10rb-20rb/orang.

Mengisi perbekalan di salah satu Warung
Seturunnya dari angkot, kami masih harus berjalan kaki cukup jauh sampai dusun terakhir. Di sepanjang jalan desa banyak terdapat warung-warung. Disini kita bisa membeli berbagai kebutuhan,
mulai dari air mineral, mie instan, bumbu-bumbu, minyak goreng, baterai, lilin, dsb. Warungnya lumayan lengkap.

Kompleks G. Salak
Di suatu tempat di dusun terakhir saya mendapatkan lokasi yang tepat untuk mengambil foto yang diatas. Kita lihat di foto, ada dua gunung, gunung ditengah dan yang di kanan. Sebenarnya gunungnya ada tiga, namun gunung yang kiri tertutup kabut. Kami akan mendaki ke titik tertinggi dari gunung yang ada di disebelah kanan. Disitulah letak Puncak Salak 1. Sedang yang tertutup kabut adalah puncak Salak 2. Sedari turun dari angkot tadi sampai tempat dimana saya mengambil foto ini, kita sudah jalan kaki beberapa waktu lamanya. Dan dari sini ke puncak yang saya sebut tadi, kita akan jalan kaki lagi. Padahal pada foto diatas terlihat jauh ya. Emang jauh. Serasa main film Lord of The Rings. Saya milih jadi Aragorn aja deh he..he..

Ujung peradaban
Ketika mencapai ujung peradaban, saya mengambil foto lagi. Setelah dusun terakhir dilewati, pemandangan berganti menjadi sawah-sawah. Setelah habis sawah disambung dengan hutan Pinus. Bisa kita lihat di foto, hutan Pinus menyambut rombongan.Setelah masuk hutan Pinus, jalur membelok ke kiri, kami kemudian menyusuri jalan setapak yang menurut taksiran saya jalur ini biasa digunakan oleh pemburu, karena di tempat yang agak becek, saya melihat jejak kaki anjing. Namun saya tidak tahu binatang jenis apa yang mereka buru. Kalau baca-baca di Internet sih, di G. Salak masih lumayan ada beberapa binatang buasnya seperti Leopard, Babi Hutan, dan beberapa jenis Kera. Mudah-mudahan para pemburu itu tidak memburu hewan-hewan yang dilindungi.

Bendungan
Setelah berjalan beberapa lama, sampailah kami ke sebuah tempat yang oleh anak-anak disebut bendungan. Jika melihat papan keterangannya, disitu tertulis “Lokasi Pemantauan Kualitas Air Sungai”. Ada logo Pertamina dan Chevron mengapit tulisan tersebut. Saya sangat tertarik dengan kejernihan air dan rindangnya pepohonan yang merubung bendungan. Setelah sekian lama berjalan dibawah sinar matahari, menemukan tempat rindang dengan aliran air jernih yang melimpah seperti itu sungguh membahagiakan sekali. Kami beristirahat lumayan lama disini.

Kami tidak tahu bahwa di bendungan ini, besoknya ketika pulang, kami semua akan mengalami peristiwa yang mengagetkan, menyakitkan, dan menghisap semua semangat kami. Sehingga kami pulang dengan mulut terdiam dan kepala tertunduk.

Welcome to the Jungle
Setelah dirasa cukup beristirahat dan menikmati segarnya air, kami melanjutkan perjalanan. Kali ini medannya berupa jalan setapak yang banyak tertutup pohon. Sering kali tas kami tersangkut di ranting-ranting pohon yang menjulur. Namun jalan yang kita pijak berupa batu-batu dan dibeberapa tempat masih terlihat aspalnya. Kata Fahmi, dulunya jalur ini berupa jalan mobil yang tembus sampai ke Kawah Ratu. Namun karena jarang dilewati, alam mengambil alih, sehingga yang tersisa sekarang hanyalah jalan setapak, itupun banyak tertutup ranting dan semak-semak.

Sumber air di Simpang Bajuri
Perhentian berikutnya adalah “Simpang Bajuri”. Sebuah tempat yang jadi pertemuan beberapa jalur pendakian dari pintu-pintu pendakian G. Salak, seperti pintu Cidahu dan Pintu Pasir Reungit dan tentu saja pintu desa G. Menir.  Simpang Bajuri dikenal pendaki karena disinilah tempat terakhir kita bisa menemukan air. Setelah tempat ini, kita tidak akan menemukan sumber air lagi. Untuk memenuhi kebutuhan air selama pendakian, camping di puncak dan turun gunung, mau tidak mau kita harus membawa bekal air dari sini.

Mendengar namanya “Bajuri” pikiran kita mungkin akan melayang ke sebuah acara TV yang bertajuk “Bajaj Bajuri”. Tebakan kita itu agak-agak benar juga. Kalau mendengar cerita dari sesama pendaki, nama Bajuri di Simpang Bajuri ini memang diambil dari nama orang. Dulu katanya suka ada orang jualan di tempat ini, namanya pak Bajuri. Akhirnya tempat ini pun akrab disebut Simpang Bajuri.

Sumber air disini berupa selokan kecil berair jernih. Sebelum dan sesudah selokan terdapat ruang cukup luas yang biasa dijadikan tempat camping. Namun kami tidak berencana camping disini. Kami mau langsung menuju puncak.

Maksi
Disini kami membuka bekal makan siang. Bekalnya berupa nasi dibungkus daun pisang dan lauknya Ikan Asin. Meski menunya sederhana, tapi nikmatnya tak terkatakan. Apalagi makannya di alam terbuka dibawah rindangnya pepohonan. Sesekali dihibur oleh nyanyian burung-burung. Yang serunya lagi, nasi segulung besar itu hanya bertahan sebentar saja. Dalam waktu singkat nasi dan ikan asin telah berpindah ke lambung anak-anak muda yang memang lagi rakus-rakusnya makan. Kita lihat di foto, disitu ada 7 orang, delapan dengan saya. Berputar searah jarum jam dari anak yang berkaos biru: Bahrul, Fahmi, Yogi, Mufidz, Kohar, Reza dan Wildan.

Kami mengisi botol-botol air yang kami bawa. Beberapa botol ukuran 600 ml, 4 botol ukuran 1,5 liter dan yang paling besar adalah botol berukuran 10 liter! Botol ini dimasukkan ke dalam tas Carrier yang dikhususkan untuk membawa air. Isi dari tas ini hanya botol 10lt tsb dan beberapa helai pakaian. Tas ini sengaja dikosongkan, soalnya kalau ditambah beban yang lain, kasihan yang bawa. Air 10 liter itu entah berapa Kg beratnya.

Dalam rombongan kami tidak semua orang membawa beban, dan bebannya pun bervariasi. Ada yang membawa tas Carrier ukuran 80 lt, ada yang membawa ukuran 50 lt, dan ada yang membawa tas daypack biasa malah ada yang lenggang kangkung tidak membawa apa-apa. Namun jangan sirik dulu. Formasi ini bertujuan untuk berbagi beban dan istirahat bergiliran. 1 orang bebas ini bisa menyimpan tenaganya, sehingga ketika ada anggota rombongan yang kelelahan, bebannya bisa diambil alih oleh orang yang bebas tadi. Nah si orang yang kelelahan ini bisa beristirahat memulihkan tenaganya tapi dia tetap jalan tidak berhenti. Otomatis rombongan pun tetap berjalan, tidak berhenti. Dengan demikian waktu perjalanan bisa dihemat karena kita sesedikit mungkin berhenti.

Dari Simpang Bajuri ke puncak jaraknya 5 km. Ini diketahui dari patok-patok yang saya ceritakan tadi, jumlahnya ada 50. Namun jarak yang “hanya” 5 km ini harus kami tempuh selama 4 jam lebih! Ini dikarenakan beratnya medan yang harus dilalui.

Tanjakan yang harus dipanjat
Tidak ada jalan yang lebar, yang ada hanyalah jalan setapak dan tanjakan yang harus kita lewati dengan memanjat bukan lagi berjalan.

Jurang di jalur maut
Setelah melewati patok ke 34, sampailah kita ke jalur maut. Sebuah jalur yang disisi kiri menganga jurang tegak lurus dan sisi kanan jurang juga meski tidak setegak lurus yang kiri. Bayangkan kita punya sebilah golok. Golok tersebut kita letakkan sedemikian rupa sehingga bagian tajamnya menghadap keatas. Nah jalur maut itu adalah bagaikan kita jalan di bagian tajam golok tersebut, sisi kiri jurang, sisi kanan juga jurang. Kebayang kan? Untunglah sekarang jalur itu sudah ada alternatifnya, jalur yang lebih aman. Jalannya tidak tepat diatas sisi tajam, tapi agak turun ke sisi kanan barang 1-2 meter. Sehingga jurang sebelah kiri terhalang dinding tanah. Hanya sesekali saja kita melewati jalan atas, ditempat itu biasanya ada pohon-pohon cukup tinggi dan kuat sehingga berfungsi sebagai pagar alami. Meski ada pagar, tetap saja kalau melihat kekiri, kaki terasa lemas ^_^ Bisa dilihat di foto diatas, itu adalah salah satu tempat di jalan atas, yang ada bekas longsorannya. Tampak pucuk-pucuk pohon terlihat kecil, itu berarti dari sini ke bawah tinggi sekali.

Jalur maut ini lumayan panjang, mungkin 3 atau 4 patok sekitar 300-400 meteran. Namun ketika melewatinya pertama kali, terasa jauh sekali, seakan jalur ini tak habis-habis. Jalur ini berakhir di Puncak Bayangan. Disini ada dataran lumayan luas, bisa muat 3 tenda ukuran sedang. Disebut Puncak Bayangan karena bentuknya yang kerucut mirip puncak gunung namun posisinya lebih rendah dari puncak Salak 1. Puncak Bayangan dan Puncak Salak ini ibarat Unta berpunuk dua namun tingginya berbeda.

Nah dari Puncak Bayangan ke Puncak Salak inilah track paling berat menunggu. Kalau tadi kita masih bisa menikmati beberapa jalan landai bahkan menurun. Selepas Puncak Bayangan, kita akan turun sedikit setelah itu kita harus menapaki tanjakan yang tak berkesudahan. Dan lebih dari itu, banyak diantara tanjakan tersebut demikian tinggi dan hampir tegak lurus sehingga untuk melewatinya kita harus dibantu tali-tali.

[Bukan] Spiderman
Di tempat seperti ini mental kita benar-benar diuji. Disini kita tidak punya pilihan lain kecuali maju. Untuk kembali bisa dikatakan tidak mungkin, karena jalan pulang justru lebih jauh. Belum lagi waktu, yang saat itu menjelang senja. Kita juga tidak mungkin diam disini, karena kalau sampai kemalaman bisa repot. Selain tidak ada area untuk mendirikan tenda, pada malam hari kita tidak pernah tahu akan mengalami kejadian apa. Gunung Salak terkenal dengan suasana mistisnya. Disisi lain kondisi fisik kita berada di titik terendah. Tenaga kita telah benar-benar terkuras. Untuk bisa mencapai tempat ini saja, entah berapa banyak tenaga yang telah dikeluarkan. Apalagi membawa tas Carrier yang berisi air dan berbagai kebutuhan camping lainnya, itu membuat tenaga yang keluar lebih besar lagi.

Tak jarang kami harus merangkak untuk bisa melewati tanjakan dan melangkah maju. Dengan nafas satu-satu kami berpacu dengan waktu untuk mencapai puncak Salak 1.

G. Pangrango dan G. Gede di arah Tenggara

Alhamdulillah menjelang Maghrib sampailah kami ke puncak Salak 1. Disini terdapat dataran cukup luas namun terpisah-pisah oleh gerumbulan semak-semak. Sudah lumayan banyak tenda yang berdiri disini, meski demikian masih ada juga tempat kosong cukup luas. Rombongan kami membawa tenda jenis tenda rumah/tenda pramuka, bukan tenda dome. Karenanya kami membutuhkan area yang lumayan luas. Dan kebetulan sekali area itu hanya terdapat tepat disamping kuburan ^_^. Oh iya, di Puncak Salak ini terdapat satu kuburan. Pada nisannya tertulis “Raden K. H. Moh. Hasan bin R. K. H. Bahyudin Braja Kusumah (Embah Gunung Salak), puncak manik gunung salak” Kalau kata cerita mulut ke mulut sih, beliau ini adalah orang yang menyebarkan agama Islam di wilayah sekitar gunung Salak.

Jika kita menghadap ke Tenggara, kita bisa melihat puncak G. Pangrango dan G. Gede. Bisa dilihat di foto diatas, tampak puncak Pangrango di sebelah kiri dan disebelahnya puncak G. Gede. Di puncak Salak ini masih banyak pohon tinggi. Jadi pemandangan tidak bisa lepas. Namun demikian dibeberapa tempat terdapat “jendela” yang memberikan pemandangan yang sangat menakjubkan.

Kami sangat beruntung karena baik ketika mendaki, camping di puncak dan turun gunung sampai kembali di rumah, cuaca sangat bersahabat, tidak turun hujan. Kalau sampai hujan, apalagi saat di jalur (naik maupun turun) gak kebayang deh sengsaranya seperti apa. Hanya saja mungkin karena kemarau, di puncak Salak angin bertiup kencang sekali. Tenda kami yang sederhana sampai bergoyang-goyang dipermainkan angin. Malah di malam harinya terjadi insiden kecil, yakni tiang penyangga tenda kami yang terbuat dari kayu sampai jatuh ditiup angin. Yang apes tertimpa tiang jatuh ini adalah Reza.

Perjalanan naik tadi sungguh sangat menguras tenaga kami semua. Karenanya setelah tenda berdiri, kita semua segera masuk kedalamnya untuk melepas lelah. Tenda yang kami bawa cukup besar bisa muat sampai 12 orang. Sedangkan anggota rombongan ada delapan. Lumayan ada tempat sisa buat jadi “dapur” sehingga kegiatan memasak bisa dilakukan di dalam tenda.

Suasana di dalam tenda
Foto diatas diambil keesokan paginya. Tampak sleeping bag yang berubah fungsi menjadi selimut, masih bergulung-gulung. Sementara “dapur” seperti kapal pecah ^_^ coba perhatikan botol besar yang ada di kanan dan pembandingnya botol hijau disebelahnya. Itulah botol ukuran 10 liter yang kita isi air sampai penuh dan digendong dari Simpang Bajuri sampai Puncak.

Ngomong-ngomong dapur, acara makan kami sangatlah istimewa. Karena tidak ada seorangpun dari kami yang membawa peralatan makan, tak ada yang bawa sendok, piring, maupun gelas. Yang kami bawa hanyalah kompor, panci dan wajan. Sodetpun gak ada. Menu makanannya adalah mie instan. Ketika memasak, untuk mengaduk mie, kita menggunakan batang kayu yang kulitnya dikupas kemudian dibentuk pipih. Begitu hidangan siap, mie tidak dituang ke piring atau apapun,  kami makan langsung dari wajan. Ya begitulah “Table Manner” di puncak gunung ^_^ Namun jangan salah, lezatnya gak kalah dengan waktu makan di restoran.

"Table Manner"
Malam harinya kami tidak terlalu banyak melakukan aktifitas di luar. Pertama karena kecapekan, kedua karena diluar angin bertiup kencang sekali, akibatnya suhu menjadi sangat dingin. Kalau tidak ada keperluan mendesak, orang-orang lebih senang berlindung di dalam tenda. Setelah perut terisi, kami pun merebahkan diri. Namun tidak segera tidur. Apalagi si 4 sekawan dan temannya, mereka riuh berceloteh dan bercanda diselingi perang kentut. Sejenak hawa di dalam tenda seperti hawa di kawah, bau kentut ^_^

Malam berlalu tanpa insiden berarti kecuali tiang tenda yang jatuh yang saya ceritakan tadi. Namun malam terasa lama karena tidurnya tidak bisa nyenyak, sebentar-sebentar terbangun, sebentar-sebentar terbangun. Tapi itu normal. Pengalaman saya naik gunung, kalau tidur di tenda ya kayak begitu. Mungkin karena kita tidur di tanah sehingga kurang nyaman kali ya? Ya iya lah, namanya juga camping di alam terbuka,  kalau tidur mau nyaman mah jangan ke puncak gunung, tapi ke hotel bintang lima. ^_^

Suasana Sun Rise
Pagi pun datang. Sekitar jam 5 pagi kami keluar tenda untuk menikmati pemandangan yang spektakuler. Langit masih gelap berhias bulan sabit dan bintang, namun di ufuk timur cahaya keemasan sudah membentang. Sementara langit diatas bersih sekali dan bintang-bintang terlihat dengan jelasnya. Bulan sabit di ufuk barat, siap-siap pulang ke tempat istirahatnya setelah semalaman menjaga tidur kami para pendaki. Saya tidak mau melewatkan momen indah ini dan menyempatkan diri narsis dengan salah satu pose favorit saya: Fajar menyingsing, tenda dan saya ^_^

Me and the Nature
Pose favorit lainnya adalah pose kebanggaan, karena berfoto dengan Sang Merah Putih di Puncak Gunung ^_^.


Sang Merah Putih
Saya juga sempat mengambil video suasana puncak di pagi hari. Langit, tenda-tenda, dan tak ketinggalan kuburan ^_^.


Sekitar jam 8:30 kami kemas-kemas untuk pulang. Sebelum pulang saya menyempatkan mengunjungi makam dan membacakan surat Al-Fatihah 3x, yang pertama untuk arwah yang dikubur disitu, yang kedua untuk orang-orang tua kakek nenek kerabat leluhur saya yang sudah meninggal dan yang ketiga untuk segenap muslimin-muslimah.

Setelah itu kami pun turun gunung.

Waktu tempuh turun gunung lebih cepat daripada naik kemarin. Puncak – Simpang Bajuri yang kemarin harus ditempuh selama lebih dari 4 jam, ketika turun hanya butuh 1,5 jam saja. Mungkin selain karena jalannya menurun, beban bawaan kami juga sudah jauh berkurang. Sehingga kami bisa berjalan lebih cepat. Namun demikian, kita jangan berjalan terlalu cepat dan tetap harus memperhatikan jalan yang akan kita pijak. Kita gak bisa sembarangan melangkah karena di jalan banyak sekali akar-akar pohon yang mencuat. Berkali-kali kaki saya tersandung akar pohon karena kurang hati-hati. Untunglah meski memakai sendal gunung, saya mengenakan kaos kaki sehingga ketika tersandung, kaki saya tidak luka. Namun tetap saja sakit. Selain akar pohon, bahaya lainnya yang mengancam adalah terpeleset. Karena terkena embun dan kabut, jalan menjadi agak licin. Pada turunan yang berupa tanah, jalannya bisa menjadi sangat licin, sehingga kalau kita tidak berhati-hati kita bisa tergelincir dan jatuh kebawah. Kalau sampai jatuh, kaki/tangan bisa patah atau minimal keseleo.

Pemandangan sisi Barat G. Salak
Foto diatas saya ambil dari tempat didekat Puncak Bayangan. Disini saya membelakangi matahari, berarti ini adalah pemandangan sisi barat gunung. Tampak dibawah dataran dan perkampungan. Bagus kan?

4 Sekawan di turunan curam
 Inilah si 4 sekawan sedang menuruni salah satu turunan berat di jalur menuju puncak.

Safety First
Dan ini adalah salah satu rintangan diantara seabrek rintangan yang harus dilewati.

Ketika turun saya sempat terpeleset beberapa kali, dan pada satu kejadian terpeleset saya mendapatkan “oleh-oleh” berupa luka di telapak tangan. Luka ini saya dapatkan ketika menekankan tangan ke bawah untuk menahan jatuhnya badan. Namun saya tidak tahu dibawah itu ada akar pohon yang mencuat dan cukup tajam. Jadilah tangan saya jatuh tepat diatas akar pohon mencuat tadi. Hasilnya ya begini:

"Souvenir" he..he..
Foto ini saya ambil ketika mencuci luka di bendungan yang kemarin kita lewati.

Kami berencana untuk beristirahat disini sekalian menghabiskan bekal. Kami mau memasak nasi liwet. Pada awalnya semua semangat melihat beras yang sedang dimasak dan dibubuhi berbagai bumbu, air liur kami menetes. Sambil menunggu anak-anak itu riuh bercanda.

Memasak Nasi Liwet

Namun beberapa menit kemudian terjadilah peristiwa yang memusnahkan semua nafsu makan kami bahkan mampu merenggut keceriaan si 4 sekawan. Setelah kejadian itu, kami pulang dengan kepala tertunduk dan tak seorang pun yang berkata-kata.

Insiden dimulai dengan hinggapnya seekor lebah di kepala Mufidz. Awalnya semua berusaha tenang. Namun sang lebah ternyata tidak beranjak pergi juga dari kepala Mufidz, hal ini membuat Mufidz mulai panik. Temannya Wildan berusaha mengusir lebah tersebut. Namun ternyata tindakan ini ibarat genderang perang. Gerakan tangan Wildan membuat si lebah merasa terancam dan tak ampun lagi dia pun menyengat kepala Mufidz. Merasakan kepalanya disengat, Mufidz pun berteriak, kaget dan sakit. Melihat temannya berteriak kesakitan, yang lain heboh dan berusaha menyentil tubuh lebah. Lebah itu pun terpental dan tercampak di air. Semua menarik nafas panjang.  Tak lama semua tertawa terbahak sambil meledek Mufidz. Sedangkan si korbah meringis kesakitan sambil memegangi kepalanya.

Namun keceriaan itu tidak berlangsung lama karena tiba-tiba dikepala saya terasa ada yang hinggap. Tak sampai satu detik, kepala saya terasa ditusuk sesuatu, sakit dan panas. “Engang! Engang!” Anak-anak yang lain ribut berteriak. Engang adalah Bahasa Sunda untuk Lebah.  Entah dari mana datangnya, diatas kepala kami beterbangan banyak sekali lebah. Semua jadi panik. Setelah mendapat serangan pertama, datang lagi serangan berikutnya. Kepala saya disengat untuk kedua kalinya. Mungkin karena kepala saya rambutnya sedikit, sehingga memudahkan si Lebah menyerang. Kesakitan, saya pun lari menjauh. Namun rupanya lebah-lebah itu belum puas. Mereka terus mengejar saya. Sekilas saya melihat yang lain pun tak kalah sibuk melindungi diri. Kebetulan mereka memakai jaket tebal bertutup kepala. Ada juga yang memakai topi. Sehingga meski serangan lebah bertubi-tubi mereka cukup terlindungi. Yang apes saya ^_^ tidak menggunakan jaket, kepala plontos, habis deh. Tak kurang dari 6 sengatan saya terima. 5 di kepala dan 1 di jempol tangan kanan.

Untunglah serangan lebah itu segera berakhir. Setelah suasana reda kami pun kembali berkumpul di seputar kompor. Namun tidak ada lagi air liur yang menetes, tidak ada lagi rasa lapar, nafsu makan pun sirna. Yang kami rasakan hanya kaget, sakit, lelah. Nasi pun matanglah sudah. Mau tidak mau kami memakannya. Rasanya memang enak, tapi kami sudah kehilangan selera. Akhirnya nasi banyak yang tersisa. Untunglah di bendungan itu banyak ikan seukuran 2-3 jari. Nasi sisa ini pun dimasukkan ke air, daripada dibuang percuma mendingan jadi rejekinya Ikan.

Selesai makan kami pun kemas-kemas. Selagi kemas-kemas begitu, saya mulai merasa wajah saya bengkak. Kalau sakit memang dari tadi juga sakit. Di bagian yang disengat, terasa bagai ditusuk jarum dan terasa panas. Tiap kali nadi berdenyut, tiap kali itu juga kulit yang disengat terasa bagai ditusuk jarum. Sekarang ditambah lagi wajah saya terasa bengkak dan panas. Begitu saya bertanya pada yang lain, mereka bilang wajah saya menjadi merah namun tidak bengkak. Saya pun mengabadikan momen langka ini. Momen wajah korban sengatan lebah ^_^

Korban sengatan Lebah
Setelah semuanya siap, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Ds. Gunung Menir, tempat kami kemarin memulai perjalanan. Kami sampai di “peradaban” tanpa mengalami insiden yang berarti.  Sekitar jam 5 sore kami semua tiba di rumah kembali.

***


Related Posts

Posting Komentar