About


Hi, my name is Irpan. I live in Indonesia. This blog is to provide you with my trip stories, my ideas and some other things.

Facebook

BloggerHub

Connect with me

Jadwal Sholat

Orang Kantoran naik gunung–part 2

Posting Komentar
Rombongan yang terdiri dari 14 orang ini semuanya adalah karyawan. Rata-rata umurnya diatas 26 dan yang paling senior, usianya diatas 50, perempuan lagi.  Adapun perbadingan peserta cewek dan cowok hampir seimbang. Cowoknya 8 orang ceweknya 6 orang.

Sekitar jam 1 pagi, saya sudah bisa tidur lagi. Karena hawa dingin yang meresap dari bawah. Meski saya tidur di dalam tenda dan memakai sleeping bag, tetap saja terasa dingin, karena antara tanah dan punggung hanya dibatasi terpal alas tenda dan selapis bahan sleeping bag. Mungkin kalau saya tidur diatas matras camping, akan sangat menolong mengisolasi dingin dari bawah.

Meski demikian, bisa memejamkan mata dan terlelap kurang lebih 1 jam-an lumayan membantu. Apalagi dalam kondisi “siaga merah” begitu ^_^, tubuh seolah mempersiapkan semua sistemnya untuk aktifitas yang berat. Paling nantinya semua harus ditebus dengan kelelahan seminggu lamanya.

Saya keluar tenda, dan mulai membangunkan teman-teman yang lain. Awalnya saya pikir kita bongkar semua tenda dan membawanya ke puncak. Namun menurut penasihat rombongan, kita naik ke puncak gak usah bawa barang. Perlengkapan simpan aja di tenda. Yang dibawa hanya barang berharga dan makanan dan minuman.

Oh ya, dara rombongan ini, ada dua jenis. Satu adalah orang-orang yang pernah melakukan aktifitas naik gunung, dan pernah naik gunung gede, dan jenis kedua adalah yang baru pertama kali melakukannya. Jumlahnya berimbang.

Nah dari orang-orang yang pernah naik gunung ini, ada sepasang suami-istri yang veteran naik gunung. Usianya menjelang akhir 40-an, namun sepasang suami-istri ini masih semangat dan fisiknya jangan ditanya, menanjak sambil menggendong tas carrier yang buerat, masih tetep ngaciiir…

Sang penasihat pendakian, bapak veteran naik gunung ini menyarankan kita gak usah bongkar tenda semuanya. Sisain dua tenda untuk menyimpan barang-barang. Dan kita naik ke puncak hanya bawa beberapa tas saja berisi air dan makanan. Semua sepakat dengan pendapat tersebut.
Setelah semua siap dan diawali dengan do’a, robongan pun berangkat meniti jalur menanjak dengan tujuan… Puncak Gunung Gede, 2985 mdpl.

Sayangnya di perjalanan yang mungkin baru 1 km, istri bapak veteran naik gunung merasa sakit, pusing dan mual. Menurut suaminya, dia terkena sakit gunung (mountain sicknes). Mungkin semacam mabuk kali ya, kan ada mabuk laut, mabuk udara, mabuk bis, nah sang ibu veteran ini kena mabuk gunung. Meski sudah mencoba menguatkan diri, akhirnya beliau memutuskan kembali ke tenda, diantar suaminya. Saya yang selalu berada ujung ekor rombongan, akhirnya menyusul anggota yang lain. Beberapa waktu kemudian, saya berhasil menyusul ekor rombongan. Saat itu sang seksi konsumsi rombongan sedang berbaring, katanya pusing dan mual, dan dia barusaja muntah. Wah, rupanya dia juga terkena mabuk gunung.

Dia mengalami mabuk gunung mungkin karena fisiknya terlalu lelah. Wajar saja dia begitu karena pada malam sebelumnya, dia begadang sampai jam 2 malam untuk mempersiapkan segala jenis konsumsi. Dari nasi, kopi, jahe, berbagai makanan manis, semua di paket sejumlah banyaknya peserta. Mengingat itu saya jadi geli sendiri, kalo seorang ibu menggunakan naluri keibuannya, begini deh. Kalo ada acara, dia yang mikirin dan mempersiapkan segala jenis makananya. Meski kita bukan anak-anaknya, tetepa aja Naluri Keibuan aktif. ^_^

Setelah istirahat beberapa jenak, seksi konsumsi kita meneruskan lagi langkahnya. Menapaki jalur yang terus menanjak. Meski tiap 100 meter berhenti dan istirahat, dia terus menanjak. BTW, Rombongan “ekor” ini ada 6 orang. 3 laki-laki dan 3 perempuan.

Ketika rombongan mencapai Kandang Badak, salah seorang anggota yang laki-laki minta berhenti. Dia perlu “setor tunai”. Tadinya kami kepikiran untuk menggunakan “jurus kucing”, namun ada orang yang nge-camp disana memberitahu bahwa tak jauh dari situ ada sumber air. Kebetulan kita juga perlu mengisi persediaan air. Jadilah saya dan si “orang berkepentingan” ini menuju kesana.

Kandang Badak adalah pos terakhir sebelum puncak Gunung Gede. Tempatnya memang di lereng, namun banyak terdapat lahan datar yang cukup luas. Pada saat itu, seluruh lahan datar terisi oleh tenda-tenda. Pada situasi demikian, saya tidak merasa berada di atas gunung, tapi serasa berada di pasar. Karena rame banget. Padahal waktu menunjukkan pukul 2:30 pagi.

Mata air di Kandang Badak ini sudah dipasangi pipa paralon sehingga kita dapat dengan mudah mengisi botol-botol minuman dengan menyimpan mulut botol di bawah pancuran air. Air yang mengucur saat itu lumayan besar, setengah diameter mulut botol mah ada kali. Deras lagi.

Sang “orang berkepentingan setor tunai” mendapatkan sebuah tempat agak ke hilir. Tempat itu sudah ditutupi lembaran asbes. Sepertinya tempat itu memang khusus untuk memenuhi panggilan alam. Setelah menunggu beberapa menit, “setor”nya selesai, dan dia keluar tempat itu dengan lega. Untuk kita gak sampai harus menggunakan “jurus kucing”.

Setelah bergabung dengan rombongan “ekor”, kami melanjutkan perjalanan. Beberapa puluh meter dari pos Kandang Badak, terdapat persimpangan. Satu jalur menuju ke puncak Gede dan jalur satu lagi menuju ke puncak Pangrango. Gunung Gede dan Gunung Pangrango memang berdekatan. Sehingga pendakian bisa dilakukan dari jalur Cibodas ini dan bercabang di Kandang Badak.

Di perjalanan, rombongan ekor ini kembali terpecah. ini karena sang seksi konsumsi kita tampak kepayahan. Akhirnya di suatu tempat dia minta istirahat dan merebahkan tubuhnya di tanah. Saya dan teman cowok satu lagi menemaninya.

Untuk sekitar 20 menit lamanya dia tergeletak ditanah dengan mata terpejam. Awalnya saya sempat was-was, takut terjadi sesuatu. Namun tak lama kemudian dia membuka matanya dan menjulurkan tangan minta dibantu berdiri, siap melanjutkan perjalanan. Dan kali ini dia tampak lebih segar. Mungkin tidur yang barusan itu lumayan berkualitas.

Setelah berjalan beberapa lama, sampailah kita pada jalur “Tanjakan Setan”. Disebut Tanjakan Setan karena jalur ini berupa tanjakan dengan kemiringan sekitar 80 derajat. Untuk melewatinya tidak cukup dengan menggunakan kaki dan tangan, perlu dibantu dengan tali. Dan disitu memang tersedia tali tambang yang besar dan di beberap tempat di sepanjang tanjakan ada tiang-tiang besi terpancang.

Sekarang ini, pada jalur Tanjakan Setan ini telah dibuat jalur alternatif. Jalur yang memutar ini tidak berupa tanjakan curam, namun berkelok-kelok. Tapi kita ekor dari rombongan ekor, memutuskan tidak akan menggunakan jalur alternatif tapi mencoba Tanjakan Setan.

Di tempat seperti ini kekompakan kita menghadapi ujian. Bagaimana caranya antar sesama teman saling bahu membahu saling bantu agara semua bisa mencapai atas. Yang pertama naik adalah teman saya yang cowok, dia bertugas mencari jalur pijakan yang enak dan aman dengan tetap berpegang pada tali bantu. Setelah itu dia menunjukkan pada sang seksi konsumsi untuk menginjak disini dan disitu. Dengan cara itu, semua bisa sampai diatas. Saya sendiri bisa sampai diatas dengan tanpa kurang suatu apa. That’s what a friend for… ^_^

Oh satu lagi, di tengah jalur tanjakan setan ada satu bidang datar sempit. Namun jika kita berdiri di bidang datar sempit ini dan memunggungi tanjakan, kita akan disuguhi dengan pemandangan memukau. Pemandangan berupa lereng dan puncak Gunung Pangrango. Saya pun menyempatkan diri berhenti di bidang sempit ini, dan melihat ke arah Pangrango. Subhanalloh, cahaya matahari pagi yang kekuningan menyepuh Pangrango menjadi bentuk kerucut yang kekuningan. Seperti gunung emas. Sejenak saya berhenti dan meresapi semuanya itu.

Dari Tanjakan Setan menuju puncak Gede memang sudah tidak terlalu jauh lagi. Namun karena rombongan berjalan lambat, waktu yang dibutuhkan untuk sampai puncak hampir 1 jam lamanya. Jam 7-an semua berhasil sampai Puncak Gede, 2985 mdpl.
Alhamdulillaaah…..

Orang kantoran naik gunung - part 1
Orang kantoran naik gunung - part 3

Related Posts

Posting Komentar