Perang Bharata Yudha |
Alkisah pada jaman dahulu tersebutlah seorang raja bernama
Citrawiria yang bertahta di kerajaan Astinapura. Beliau berputra dua, Destarata
dan Pandu. Sang Prabu Citrawiria meninggal di usia muda. Maka tahta pun
diteruskan oleh anaknya. Karena Destarata, sang kakak, buta matanya sejak
lahir, maka tahta pun diteruskan oleh Pandu.
Pandu memiliki anak 5 orang yakni Yudhistira, Bima, Arjuna, Nakula
dan Sadewa, mereka ini dikenal dengan sebutan Pandawa. Sedang Destarata
mempunyai anak 100 orang, anak sulungnya bernama Duryodana dan paling bungsu
bernama Dursala. Mereka ini dikenal dengan sebutan Kurawa.
Dari sinilah pertikaian antar saudara dimulai. Duryodana merasa
tahta negri Astina adalah haknya, karena dia adalah anak dari putera mahkota
Destarata. Sedang Yudhistira merasa naiknya Pandu, ayahnya, menjadi Raja adalah
melalui jalur yang sah, bukan hasil tipu muslihat. Puncak perbedaan pendapat
tersebut adalah sebuah perang dahsyat selama 18 hari di lapangan Kurusetra.
Perang tersebut dikenal dengan nama “Bharata Yudha”.
Kita semua mengetahui bahwa para Pandawa itu orangnya baik-baik
dan para Kurawa itu orangnya jahat-jahat. Ok, mungkin mereka memang begitu.
Namun pernahkah kita sejenak memikirkan para prajurit kedua belah pihak, yang
bertempur di garis depan dan mati paling dulu? Apakah prajurit blabla dari
pihak Kurawa itu jahat? Apakah prajurit blibli dari pihak Pandawa itu baik?
Siapa yang tahu?
Bagaimana kalau baik blabla maupun blibli hanyalah orang yang
“mencari sesuap nasi”, mendapat gaji dengan menjadi prajurit?
Tanggal 9 April 2014 nanti, Indonesia akan menyelenggarakan
“Bharata Yudha” di lapangan PEMILU. Saya tidak akan menunjuk siapa Pandawa
siapa Kurawa, karena kayaknya semuanya mengaku orang baik-baik ^_^.
Masing-masing Pangeran dan Putri mengklaim paling baik dan akan
memperjuangkan rakyat. Di arena PEMILU, mereka mengerahkan pasukannya masing-masing.
Para pasukan inilah yang bertempur di garis depan.
Cerita-cerita seperti Tetangga tidak akur dengan Tetangganya
karena beda partai. Satu orang dikucilkan dari pergaulan karena memilih lambang
yang berbeda dll, dsb. Malah ada saja orang yang benar-benar bertengkar sampai
berkelahi membela partainya masing-masing. Cerita-cerita semacam ini akan
kembali terulang. Cerita-cerita “Para prajurit yang mati di garis depan.”
Mereka jadi korban, tapi namanya takkan pernah tercatat dalam sejarah. Mereka
hanyalah “ongkos” dari bertahtanya seorang Pangeran atau Putri.
PEMILU hanyalah tambahan petaka bagi para keroco rakyat jelata.
Hasil PEMILU tak pernah membuat kehidupan Rakyat bertambah makmur bermartabat.
Karena para Pangeran dan Putri hanya memikirkan diri sendiri.
Karenanya, Jangan GOLPUT, let’s make things worse. ^_^
PS:
Ki Dalang Asep Sunandar Sunarya |
In memoriam Dalang Asep Sunandar Sunarya. Beliau telah wafat
pada hari Senin, 31 Maret 2014. Berkat jasa-jasa beliau, kesenian tradisional
Indonesia khususnya Wayang Golek, bisa dikenal oleh dunia Internasional.
Padepokan Wayangnya, “Giri Harja 3” sudah melanglang buana memperkenalkan
keluhuran budaya Indonesia. Semoga semua amal ibadahnya diterima Allah SWT dan
segala dosanya di ampuni. Amiiin...
Posting Komentar
Posting Komentar