Peserta UN. Sumber: siap-sekolah.com |
Hari ini siswa-siswi SMU sedang menjalani UN. Sebuah Ujian yang benar-benar menguji hasil belajar mereka dan lebih dari itu menguji mental mereka. Disebut menguji mental karena dari penampakannya saja, UN itu sudah menyeramkan. Bungkusan-bungkusan amplop besar berwarna coklat dikawal oleh pria-pria tegap bersenjata api laras panjang. Seolah itu adalah dokumen maha penting yang jika ada orang yang berani mencoba merebutnya akan ditembak ditempat ^_^.
Belum lagi soal-soal UN-nya sendiri, yang demi untuk bisa lulus ujian tersebut dengan nilai minimal saja, setiap siswa harus menjalani berbagai persiapan jauh-jauh hari. Mulai dari persiapan yang masuk akal sampai yang religius bahkan tak jarang melakukan hal-hal berbau klenik. Persiapan masuk akal misalnya, para siswa selain mengikuti pembelajaran di jam reguler, ditambah juga dengan berbagai les dan bimbel. Yang religius misalnya mengadakan pengajian bersama menjelang ujian. Dan yang berbau klenik, ada siswa yang mandi air kembang, dsb.
Haruskah sebegitunya generasi penerus bangsa ini dalam mengarungi kehidupan? (Lebay mode on ^_^)
Bukankah hidupnya mahluk-mahluk penghuni planet bumi ini hanyalah untuk bertahan hidup dan regenerasi. Meski kemudian mahluk ciptaan yang lebih cerdas yang bernama manusia mendapat tugas lebih berat, yakni harus mengatur planet ini dan kelangsungan hidup mahluk-mahluk lainnya.
Jangan-jangan ini sumber masalahnya. Kelebihan manusia inilah sumber bencana bagi alam raya dan segala isinya.
Untuk menjalankan tugasnya sebagai pengatur, manusia dilengkapi akal dan juga nafsu. Keduanya berperan dalam tindak kehidupan manusia sehari-hari. Manusia melakukan sesuatu itu dipengaruhi oleh akal dan nafsunya. Well, Akal dan nafsu ini merupakan hal-hal yang ditinjau dari sudut pandang religi.
Jika ditinjau dari sudut pandang biologi, manusia dalam melakukan sesuatu itu berdasarkan hasil output dari proses yang berlangsung di dalam otaknya. Otaklah pusat kendali dari seorang manusia. Setiap tindakan manusia mulai dari yang sederhana seperti menggerakkan tangan dan berjalan sampai tindakan kompleks seperti berinteraksi dengan sesama manusia, membuat berbagai peralatan rumit, dsb, kesemuanya adalah hasil dari proses-proses didalam otaknya.
Dalam menjalankan suatu proses, otak membutuhkan input atau masukan. Masukan-masukan ini datang dari pengalaman sehari-hari si manusia tersebut. Segala sesuatu yang ditangkap panca inderanya menjadi masukan bagi otak, untuk kemudian di proses dan hasil proses itu menjadi output yang dilaksanakan oleh perangkat tubuh.
Kembali ke UN, kita coba hubungkan dengan proses dan otak. Seperti kita ketahui, manusia yang hidup di jaman sekarang, panca inderanya dijejali dengan banyak sekali masukan. Otak manusia seolah-olah kebanjiran masukan. Mata, telinga, lidah, hidung, dan kulit, setiap detiknya dibanjiri ribuan informasi. Meski otak manusia adalah maha karya dari Sang Pencipta, namun dalam pengoperasiannya, otak tetap memiliki keterbatasan. Dan satu hal lagi, jika otak di beri masukan yang sama hampir setiap harinya dan melakukan proses yang hampir sama setiap harinya, maka ketika ada masukan yang berbeda, otak cenderung menomor duakan untuk memproses masukan yang berbeda ini dan menjalankan proses yang sama terlebih dahulu.
Apa jadinya kalau otak siswa-siswi yang sekarang sedang Ujian itu, sehari-harinya dibanjiri oleh masukan yang tidak ada hubungannya dengan pelajaran. Sehingga ketika sekarang otaknya dituntut untuk memproses hal-hal yang ada hubungannya dengan pelajaran, mampukah si otak mengeluarkan output yang sesuai?
Pelajar dan Smartphone |
Banjir informasi penting yang tak perlu.
Di jaman dunia persilatan, seorang pendekar bisa menjadi sangat sakti berkat tapa brata yang dijalaninya. Mereka mengasingkan diri ke gua-gua, gunung-gunung dan hutan belantara untuk mencerap segala ilmu kesaktian. Dengan bersemedi di gunung yang tinggi, dia mencoba mencerna segala ajaran kitab pusaka, baik yang tersurat maupun yang tersirat. Setelah sekian lama bertapa, setelah berhasil memahami isi kitab pusaka tersebut, sang pendekar turun gunung dan menjadi Pendekar Sakti Tanpa Tanding.
Di jaman dunia per-smart phone-an, masihkan kita bisa mengasingkan diri?
Bahkan sekalipun kita pergi ke angkasa, kita masih dapet sinyal dan bisa memantau time line mereka-mereka yang kita follow. Kalau begini keadaanya, bisakah kita mencerna isi kitab pusaka, jangankan yang tersirat, yang tersurat saja dulu. Bisakah?
Karena otak kita dibanjiri informasi yang menurut kita penting tapi belum tentu diperlukan, mungkinkah otak kita akan memberikan output sesuai kebutuhan?
Posting Komentar
Posting Komentar