Generasi UN. sumber: masgregori.us |
Beberapa waktu lalu jagat maya dan media Indonesia diramaikan oleh
berita tentang seorang siswi sekolah tingkat SMA yang menantang menteri
Pendidikan untuk mengerjakan soal UN Matematika. Dan dengan jawaban diplomatis,
pak Mentri tidak menerima tantangan tersebut.
Peradaban manusia memang bisa dikatakan dibangun dengan
matematika. Rumah, pakaian, kebun, jalan sampai peralatan perang dari jaman
Manjaniq sampai Rail Gun dibangun dengan matematika alias hitung-menghitung.
Elemen pembangun ini jadi ilmu yang wajib dikuasai atau setidaknya diketahui
oleh setiap manusia di jaman sekarang.
Di Indonesia, ilmu Matematika jadi pelajaran wajib di setiap
lembaga yang menamakan dirinya sekolah. Dan untuk mengukur sampai dimana ilmu
ini dikuasai oleh generasi penerus, diadakanlah ujian-ujian. Hasil ujian berupa
nilai dengan angka tertentu menjadi patokan seberapa besar keberhasilan sekolah
“menginstall” ilmu matematika di setiap anak. Setidaknya begitulah persepsi
para penyelenggara pendidikan sekarang ini.
Namun nilai tinggal nilai, yang lebih penting daripada nilai
adalah apakah si anak bisa memahami dan menerapkan ilmu-ilmu matematikanya itu
di kehidupan nyata. Karena ilmu, apapun ilmunya adalah alat yang
digunakan manusia untuk menjalani hidupnya. Sama seperti pisau dapur yang
digunakan ibu untuk memotong sayuran, sama dengan cangkul yang digunakan ayah
untuk mencangkul sawah. Ilmu seharusnya bisa digunakan dalam kehidupan.
Kembali ke soal UN, soal-soal UN Matematika sedemikian sulit,
sehingga tidak satu pelajar pun di Negeri ini yang bisa menjawab seluruh soal
dengan benar. Bahkan Nurmillaty Abadiah, sang penantang Menteri Pendidikan itu,
peraih medali perak dalam
International Competition and Assessments for Schools 2012 yang diadakan
Educational Assessment Australia (EAA), hanya mampu mengerjakan 33 soal dari 40
soal yang diujikan. Setelah diusut, ternyata banyak soal-soal UN itu yang
mencontoh soal PISA (The Programme for International Student
Assessment) kalau tidak dibilang menjiplak.
Ada opini tentang penggunaan soal PISA di UN ini, yaitu
supaya standar nilai PISA Indonesia bisa naik. Mengingat rangking PISA
Indonesia jeblok. Namun sepertinya para pengurus negeri ini tidak mau susah dan
ingin mengambil jalan pintas, dengan memberikan soal PISA di UN tanpa
memberikan perisapan yang sebagaimana mestinya.
Ilmu matematika memang universal. Di manapun di planet ini,
1+1=2. Namun bagaimana cara mengajarkan ilmu itu dan sejauh mana daya pemahaman
para pelajar, tiap daerah tentu berbeda-beda. Terlebih di Indonesia, dimana
para pelajarnya harus menghadapi banyak sekali “pengalih perhatian” sehingga
mereka tidak bisa fokus belajar. Pengalih perhatian ini bisa berwujud segala
jenis hiburan, eksploitasi psikologis, dll. Akibatnya para pelajar ini terbuai
dengan dunia yang…. memang itu masanya mereka, namun seharusnya mereka sadar
bahwa ada yang lebih penting dari itu. Yang dimaksud adalah, misalnya begini:
anak-anak usia SMP – SMA, secara biologis dan psikologis sedang memasuki masa
peralihan dari anak-anak ke dewasa. Mereka mengalami pubertas. Puber identik
dengan pacaran. Dan pacaran adalah aktifitas yang menguras semua energi dan
perhatian mereka. Akibatnya tidak ada lagi energy yang tersisa untuk belajar.
Sedangkan tuntutan sekolah dengan segala standar nilainya tidak bisa dihindari.
Akibatnya para pelajar ini mengambil jalan pintas, yakni menyontek saat ujian.
Mereka melupakan satu hal, yakni mereka belajar untuk
memperoleh “alat pendukung hidup” yakni ilmu. Ibu tidak bisa memotong sayur
tanpa pisau dan ayah tidak bisa mencangkul sawah tanpa cangkul. Apa jadinya
mereka tanpa ilmu?
Hal ini diperparah dengan para penyelenggara pendidikan yang
sepertinya kehilangan pemahaman tentang apa gunanya ilmu. Mereka
menyelenggarakan pendidikan tidak dilandasi dengan niat untuk membuat anak-anak
berilmu, mereka menyelenggarakan pendidikan karena dari sanalah mata
pencaharian mereka. Sehingga orientasi mereka bukanlah bagaimana membuat system
pendidikan yang baik, namun bagaimana mereka mendapatkan harta dari system
pendidikan yang diselenggarakanya. Jadilah pendidikan di Indonesia seperti
sekarang ini, siswanya tidak fokus belajar, para penyelenggara pendidikan pun
tidak peduli dengan kondisi para siswa tersebut.
Meski demikian ada sedikit “penghibur hati”. Bahwa kondisi
siswa yang tidak paham Matematika, bukanlah masalah Indonesia sendiri. Di
Negara lain pun mengalami hal yang sama, bahkan di Negara Adidaya seperti
Amerika. Menurut berita di http://www.bbc.com/news/business-27442541, di beberapa Negara Bagian di Amerika, tingkat
pemahaman para pelajar terhadap Matematika tidak lebih baik dari negara-negara
lain di dunia. Di Negara Bagian Mississippi, Alabama dan Louisiana, pemahaman
para pelajarnya setara dengan pelajar di Kazakstan dan Thailand. Bahkan di West
Virginia, nilai matematikanya jauh dibawah negara-negara Eropa Barat, bahkan
dibawah Korea Selatan dan Singapura.
Karenanya, kita bisa sedikit tersenyum dan mengelak, bahwa
pelajar tidak bisa Matematika bukan hanya terjadi di Indonesia saja, di Amerika
juga sama.
Namun demikian, kondisi ini patut menjadi keprihatinan kita
semua. Jika kualitas para pelajar kian hari kian menurun, akan bagaimanakah
kondisi bangsa ini dikemudian hari? Jika ibu tidak punya pisau untuk memotong
sayur, bagaimana bisa dia memasak. Jika ayah tidak punya cangkul, bagaimana
ayah bisa mencangkul sawah dan kemudian menanam padi. Jika generasi penerus
kita tidak punya ilmu, kehidupan seperti apakah yang akan mereka jalani kelak?
***
Posting Komentar
Posting Komentar