About


Hi, my name is Irpan. I live in Indonesia. This blog is to provide you with my trip stories, my ideas and some other things.

Facebook

BloggerHub

Connect with me

Jadwal Sholat

Novel Siti Nurbaya Mengajak Kita Lebih Peka Pada Penderitaan Sesama

42 komentar


Baru-baru ini saya selesai membaca novel angkatan Balai Pustaka berjudul Siti Nurbaya, karya Marah Rusli.

Ketika membahas Novel Siti Nurbaya, pikiran saya suka melayang ke akhir dekade 80'an. Ketika itu stasiun TV milik pemerintah Indonesia, TVRI menayangkan sinetron yang mengangkat novel ini. Adapun pemain utamanya adalah Novia Kolopaking sebagai Siti Nurbaya, Gusti Randa sebagai Samsulbahri, dan HIM Damsyik sebagai Datuk Maringgih.

Guess what, waktu itu saya punya teman bermain perempuan yang wajahnya itu mirip dengan Siti Nurbaya di TV. Dan di usia yang mulai akil balig, wajar saja jika saya suka padanya. he..he..he..

Kala itu stasiun TV belum sebanyak sekarang, sehingga sinteron Siti Nurbaya ini tentu menjadi tontonan yang populer. Dari beberapa cerita orang, saya dengar ada yang sedemikian bencinya sama tokoh penjahat Datuk Maringgih, sehingga pada kehidupan nyata, pemeran Datuk Maringgih, yakni HIM Damsyik terkadang mendapat perlakuan tidak menyenangkan ketika bertemu dengan masyarakat penggemar sinetron ini.

Sekian puluh tahun berlalu, barulah saya membaca kisah Siti Nurbaya versi Novelnya. Dari versi sinetron, yang menempel di benak saya itu hanyalah tragedinya saja. Ketika membahas Siti Nurbaya, pasti saya bilang, oh yang ceritanya tragedi itu ya? Tokohnya mati semua.

Namun setelah saya membaca novelnya, pendapat saya tentang kisah Siti Nurbaya ini berubah. Memang pada versi novel ini, 3 tokoh utamanya yakni Siti Nurbaya, Samsulbahri, dan Datuk Maringgih juga mati semua. Tapi ternyata saya rasakan tidak sesedih tragedi yang mengiris hati.

Malah dari novelnya, saya menangkap pesan dari penulis novel yakni Bapak Marah Rusli, pesannya kurang lebih begini:

"Kalian bisa sedih ketika mendapati bahwa 3 tokoh utama dalam cerita fiksi ini semuanya mati setelah mengalami berbagai penderitaan. Namun apakah kalian merasa sedih ketika mendapati tetangga kita, saudara kita, teman kita, dan manusia lainnya yang hidup di alam nyata, mengalami penderitaan dan tak sedikit yang sampai menemui ajalnya?"

Tragedi yang dialami tokoh dalam cerita seolah menjadi tamparan buat kita, betapa kita selama ini tidak peka terhada penderitaan yang dialami sesama manusia di lingkungan sekitar kita.

Selain itu melalui novelnya ini, sang Pengarang berusaha menyampaikan kritik terhadap adat istiadat yang berlaku pada saat itu di daerah Padang khususnya.

Dalam cerita dikisahkan seorang bernama Sutan Hamzah. Dia terhitung paman Samsulbahri. Dengan hanya mengandalkan darah keturunan bangsawan, Sutan Hamzah dapat menjalani hidup yang nikmat tanpa harus menjalankan kewajiban dan tanggung jawab terhadap anak dan istrinya. Dengan mudahnya ia bergonta-ganti istri tapi tak pernah memberi nafkah. Anak berserak di mana-mana tapi tak pernah memberi belanja.

Adapun kewajiban memberi nafkah anak dan istri, ada di tangan "Mamak"nya atau pamannya.

Keluarga si istri pun rela bahkan bangga menikahkan anak gadisnya dengan seorang laki-laki berdarah bangsawan tinggi, meskipun si laki-laki tersebut tidak pernah bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup anak istrinya. Adalah keluarga si Istri lah, terutama Mamak-nya yang menanggung kebutuhan hidup mereka.

Akibat adat yang berlaku seperti itu, banyak sekali wanita yang menjadi korban, hidup dalam kesengsaraan namun tak bisa berbuat apa-apa karena terikat oleh adat-istiadat.

Sang pengarang juga banyak menyampaikan buah pikirannya yang dikemas dalam bentuk dialog antar tokoh.

Pemikiran tentang tata kehidupan disampaikan melalui dialog antara suami istri Paman Siti Nurbaya.
Berikut sedikit cuplikannya:

"Demikian juga adat itu; bertukar-tukar, menurut zaman. Walaupun tiada disengaja menukarnya, ia akan berganti juga; sebab tak ada yang tetap. Sekali air pasang, sekali tepian beralih, kata pepatah. Dan memanglah begitu."

"Baiklah, sekarang cobalah Kanda terangkan apa kejahatan adat kita di Padang ini, tentang beristri lebih daripada seorang?" tanya Fatimah pula.

"Dengarlah," sahut Ahmad Maulana. "Pertama, makin banyak istri makin banyak belanja; sebab tiap-tiap istri itu harus dibelanjai dengan secukupnya. Bila kurang belanja, tentu saja kurang hati istri-istri itu. Dengan demikian, mudah timbul perselisihan; dan bila selalu berbantah saja, dengan tiap-tiap istri yang banyak itu, tentulah kehidupan kurang senang."

"Rupanya Kakanda lupa akan perkataan Kakanda tadi dan adat kita yang asli, yaitu laki-laki tak usah memberi belanja istrinya atau anaknya, karena anak istrinya itu tanggungan mamaknya. Laki-laki dipandang sebagai orang semenda, orang menumpang saja; jadi walaupun istri dan anak banyak, tiada menyusahkan."

"Bukan aku lupa," jawab Ahmad Maulana. "Itulah yang lebih terasa di hatiku. Laki-laki tak usah memberi belanja danmemelihara anak istrinya, bahkan dapat makan dan pakaian pul adari perempuan. Dan apabila laki-laki itu berbangsa, tatkala kawin, dijemput pula oleh perempuan, dengan uang dan pakaian.

Jadi apa namanya laki-laki itu? Karena sesungguhnya laki-laki itulah yang harus memberi nafkah dan memelihara anak istrinya, sebab perempuan lebih lemah dari laki-laki."


Bagaimana? daging bukan? ada banyak lagi buah-buah pemikiran Marah Rusli yang beliau tuangkan dalam novel ini, dikemas dalam bentuk dialog antar tokohnya. Ada tentang kritik terhadap adat, kesetaraan hak laki-laki dan perempuan atas pendidikan, kritikan pada sistem penjajahan, dll. Baca deh, pasti tercerahkan.

Selanjutnya adalah tentang keharumannya. Saya lagi ngebayangin buah Mangga nih. Dagingnya lezat, penampilannya indah menggiurkan, dan baunya harum.

Nah, novel Siti Nurbaya pun kurang lebih seperti buah Mangga ini lah. Dagingnya lezat, banyak buah pemikiran berharga yang disampaikan oleh sang Pengarang. Sedang di sisi keindahan, novel ini banyak juga mencantumkan Pantun dan Puisi. Ini yang saya suka. Pantun dan Puisi.

Dan yang paling spektakuler menurut saya adalah sebuah puisi panjang yang berisi tumpahan rasa kerinduan Samsulbahri kepada Siti Nurbaya. Puisi tersebut sungguh indah, merajuk rindu. Dan panjang sekali, saya sampai tidak mau menghitung ada berapa bait saking panjangnya. 

Berikut cuplikannya:

Jakarta, 10 Agustus 1896

Awal bermula berjejak kalam,
Pukul sebelas suatu malam,
Bulan bercaya mengedar alam,
Bintang bersinar laksana nilam.

Langit jernih cuaca terang,
Kota bersinar terang benderang,
Angin bertiup serang-menyerang,
Ombak memecah di atas karang.

...

Tatkala angin berembus tenang,
Adik yang jauh terkenang-kenang,
Air mata jatuh berlinang,
Lautan Hindia hendak direnang.


---

Dan ini salah satu contoh pantunnya:

"Dari jauh kapalmu datang,
pasang bendera atas kemudi.
Dari jauh adikmu datang,
melihat Kakanda yang baik budi."


Gimana? Rancak bana!

Ok, lebih dari itu, membaca novel angkatan Balai Pustaka menjadi tamasya tersendiri buat saya. Entah mengapa saya suka membaca cerita-cerita yang dibuat pada masa pra-kemerdekaan. Feelnya itu romantis kalau buat saya. Apa lagi kalau ceritanya dibuat oleh orang Melayu, bahasanya itu cocok aja dengan saya mah.

Makanya ketika saya membuat puisi, seringkali saya menggunakan kata-kata yang mungkin dianggap kuno untuk ukuran anak sekarang. Kata-katanya rada melayu, bahasa Indonesia yang baik dan benar gitu. Namun saya merasakan kepuasan dengan menggunakan kata-kata yang demikian. Feel romantisnya itu dapet.

Karenanya setelah Novel Siti Nurbaya ini, saya mau lanjut membaca yang lainnya. Yang sedang dibaca sekarang adalah "Sukreni Gadis Bali". Dari Padang saya terbang ke Bali, untuk bertamasya sastra di sini.***

Sumber Foto:

- Klip Sinetron Siti Nurbaya, TVRI



 

Related Posts

42 komentar

  1. wah pemikiran ku jadi terbuka juga, terimakasih sudah berbagi kak

    BalasHapus
  2. Sudah lupa jalan cerita yang sempat ditonton dulu. Ingatnya hanya kawin paksa dan kekejaman datuk maringgihnya saja 😅. Boleh juga ya baca novelnya. Pasti lebih dapat rasanya dibanding nonton

    BalasHapus
  3. Bravoo!!
    Bahasannya renyah kali, Bang.. Aku suka sekali.

    Sebenernya, aku bukan orang Sumatera. Tapi, aku lahir di Sumatera, jadi sedikit banyak paham karakternya. Meski gak semua orang begitu ditambah lagi kemajuan zaman yang katanya "Udah bukan zaman Siti Nurbaya..."

    It's okay, sejarah pernah mencatat bahwa ada luka dari pahitnya "budaya" Padang dan tertorehkan dengan romantis dalam Novel Siti Nurbaya.

    Semoga tidak ada lagi hati yang tersakiti, keluarga yang terabaikan dan anak-anak perempuan yang terpaksa harus menikah tanpa cinta seperti yang diceritakan dalam Novel lawas ini.

    BalasHapus
  4. lawas sekali nih bacaannya bang irfan, yang aku suka juga dari novel lawas itu selain jalan ceritanya juga bahasanya, sopan sehingga lebih enak untuk aku nikmati, apalagi romantismenya yah dapet banget deh

    BalasHapus
  5. Wah sudah lama tidak membaca novel fiksi lawas. Cerita dari Marah Rusli ini terkenal sekali sampai jadi musik dari band Dewa kan?

    BalasHapus
  6. Wah, dari dulu film ini sering disebut lo sama ibuk bapakku. Tapi sampai sekarang aku belum kesampaian nonton. Legend banget ini kisahnya. Ada versi remake-nya nggak ya?

    Kalau baca novelnya memang pandangan kita jadi seperti tercerahkan gitu ya? Jadi penasaran pengen baca novelnya juga. Biasanya novel-novel lama gini butuh waktu khusus bacanya karena masih pakai bahasa sastra lama ya, jadi agak loading gitu aku kalo baca wkwk..

    BalasHapus
  7. Yang langsung teringat tentang Siti Nurbaya adalah sosok Datuk Maringgih, Dulu akrab sekali dengan novel seperti ini, Jadi pengen baca lagi.

    BalasHapus
  8. Salah satu novel favorit aku yang pertama kali aku baca di perpustakaan SMP dulu. Malah lebih suka novelnya dibandingkan sinetronnya. Oya, satu hal yang aku suka dari novel ini adalah budaya Minang-nya kental sekali, jadi aku belajar banyak tentang budaya daerah lain. Dari baca buku novel Angkatan Lama aku jadi suka menulis puisi juga.

    BalasHapus
  9. Saya juga sepakat, roman-roman sebelum kemerdekaan, punya sisi romantisme sendiri. Alhamdullillah saya sudah pernah baca roman Siti Nurbaya ini, dan juga Sukreni Gadis Bali pun sudah pernah saya baca.

    Coba juga kang Atheis, Layar Terkembang, Robohnya Surau Kami, dll.

    BalasHapus
  10. Bagaimanapun baca novelnya langsung sama nonton filmnya pasti beda sensasi yang dirasakan. btw saya baru ngeh kalo tokoh utama di film Siti Nurbaya ini akhirnya meninggal semua. lupa2 ingat soalnya udah lawas sekali, kayaknya yang menempel di ingatan saya hanya sosok datuk Maringgihnya saja hehe

    BalasHapus
  11. Tokoh siti nurbaya ini memiliki karakter yang kuat ya, kisah indonesia yang cukup populer pada masanya juga. Saya juga suka mencari kata-kata unik di novel, seru rasanya bisa membuat puisi dengan kata2 yang bermacam-macam

    BalasHapus
  12. Aku tahu Siti Nurbaya tapi udah lupa bagaimana ceritanya. Kalau Novia Kolopaking, Gusti Randa, dan HIM Damsyik masih ingat wajah mereka.
    Rupanya novel ini punya pesan mendalam ya tentang adat di Minang yang ada sisi merugikannya jika dimanfaatkan secara salah. Jadi penasaran, ingin baca e-booknya atau cari di perpus.

    BalasHapus
  13. Kalau saya baca novel dari Balai Pustaka rasanya kayak balik jaman masa remaja SMP gitu Kak :-D Asik banget rasanya..
    Sayangnya dulu belum pernah nonton yang versi filmnya di TVRI..

    BalasHapus
  14. Mantap, novel legendaris ini bang. Belum nonton sinetronnya di TVRI karena akhir 80an saya..belum lahir, wkwk. Ada banyak insight yang bisa kita petik buat kehidupan sehari-hari ya. Pantunnya cakep-cakep!

    BalasHapus
  15. Kelahiran tahun berapa bang? Mungkin kita seumuran.. film Siti Nurbaya memang bikin mewek di zaman taun 80an itu. Saya masih kecil, tapi sudah bisa mengerti alur ceritanya.
    Saya juga suka novel2 yg dikarang oleh sastrawan era pra kemerdekaan, semisal "Sengsara Membawa Nikmat", "Tenggelamnya Kapal Van Der Wich", dll. Bahkan novel2 itu menginspirasi gaya bahasa di buku diary saya.. Hahaha..

    BalasHapus
  16. Selain Buya Hamka salah satu penulis favorit ku adalah Marah Rusli, setiap karyanya selalu kaya akan unsur makna dan pesan2 tersirat didalamnya serta kritiknya terhadap adat istiadat yang berlaku di Padang sama halnya dengan Buya Hamka. Penulis jaman dulu banyak memberikan pesan moral dari karyanya,pesan kehidupan yang bisa menjadi teladan bagi pembacanya. Maka tidak salah kalau karya beliau selalu boom dipasaran, cerita Siti Nurbaya ini sangat terkenal bagaimana tidak saya saja yg masih kecil saat itu sampai tahu cerita ini. Apalagi si Datuk Maringgih andalan saya yg jd musuh emak2 klo LG nonton hahaha saking bagusnya akting beliau.

    BalasHapus
  17. Novelnya inspiratif ya Kak. Saya pernah baca novel ini pas SMA, dan memang gaya bahasa & isinya khas sekali di jaman itu

    BalasHapus
  18. Jujur aku ga ada nonton siti nurbaya, mungkin beda generasi yaaa kak hihi tp aku sedikitnya tau tentang ceritanya

    BalasHapus
  19. mungkin bisa menyisipkan deskripsi novel siti nurbaya ini dan menampilkan visual novelnya juga, jadi lebih mudah dipromosikan konten artikel ini.. trims

    BalasHapus
  20. Indah bahasa sastrawan Indonesia zaman dulu kala ya. Mereka menyampaikan kritik sosial dengan santun, seperti contohnya kisah Siti Nurbaya. Waktu saya ke Padang, ada sodara yang bilang bahwa makam Siti Nurbaya benar ada, entah kisahnya nyata atau bukan.

    BalasHapus
  21. Novel "Siti Nurbaya" dan "Sukreni Gadis Bali" adalah contoh karya sastra yang indah dengan cerita yang klasik dan sarat makna. dengan membaca karya-karya ini, kita tidak hanya menikmati tamasya sastra, tetapi juga mendapatkan wawasan tentang kehidupan dan budaya pada masa lalu. Setiap karya sastra membawa kita pada petualangan yang berbeda dan memberikan perspektif yang beragam.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pengarang roman masa lalu, sangat kuat banget memasukkan kehidupan sosial budaya yang menjadi latarnya. Benar-benar diajak menyelami kehidupan masa lalu.

      Hapus
  22. Novel Siti Nurbaya memang legend sih. Selain karena diangkat dari keresahan atas realitas sosial di masanya, juga menjadi kritik atas budaya patriarki. Marah Rusli memang sastrawan yang memikat. Tapi sayangnya saya suka pusing kalau baca karya karya dengan ejaan lama :) jadi sulit untuk menikmati

    BalasHapus
  23. Dari novel karya Marah Rusli ini saya jadi tau gambaran perjuangan wanita Minangkabau di awal abad ke-20.

    BalasHapus
  24. Novel ini dulu jadi bacaan wajib anak kelas 3 Bahasa. Di zamanku untung msh dibuka kelas Bahasa krn aku ga mau msk kelas IPA. Males itung2an sih haha meski nilaiku jg msk.

    Ga mau msk IPS krn rata2 orgnya agak nakal. Plus ada akuntansi yg hitung2an jg.

    Enaknya Bahasa krn suka diajarin nulis dan novel2 seru. Plus kdg diajarin gelaah sastra. Jd kita ngebedah novel dan diceritakan sinopsis, sejarah penciptaan dan tren novel serupa di masanya. Asyik sekali sih.

    BalasHapus
  25. Wah. Saya termasuk yang belum pernah nonton Siti Nurbaya di TV kala itu, Mas. Tapi saya tau. Mungkin karena waktu masih kecil banget. Hehehe. Novelnya pun saya belum pernah baca. Hanya tau kisahnya sekilas. Saya coba cari-cari ah.

    BalasHapus
  26. Kisah Siti Nurbaya ini memang sarat akan makna ya. Penuh dengan pesan dan pelajaran. Saya pun teringat dengan lakon Datuk Maringgih yang kesannya dulu sangat antagonis. Tak lupa ceritanya yang juga tragis. Menurut saya budaya atau adat yang ada di Sumatera Barat zaman dulu memang terbilang unik dan banyak menimbulkan pertanyaan bahkan pertentangan sih. Walau sekarang mungkin sudah jauh berbeda ya masyarakat dan pengaplikasiannya.

    BalasHapus
  27. Aku dulu sempat nonton siti nurbaya
    Tapi belum pernah baca novelnya
    Mau coba baca ah kapan kapan

    BalasHapus
  28. Cukip kaget karena saat ini masih ada yg baca novel siti nurbaya. Ya tidak ada salahnya sih memang, tapi jarang sekali bukan? Sekaligus siapa yang tidak pernah mendengar cerita dari siti nurbaya, karena kita kebanyakan hanya mendengar sekilas, tanpa pernah membaca ceritanya. Jadi cukup salut dengan bacaabnya lalu dibagikan lewat tulisan

    BalasHapus
  29. Wahhh tahun kapan ini tayangannya ya? Aku kenal Novia Kolopaking tapi sepertinya gak nonton Siti Nurbaya, jadi gak kebayang jalan ceritanya kayak apa. hehe

    BalasHapus
  30. Aku belum baca Novel Siti Nurbaya karena waktu di sekolah tuh gak boleh dipinjam dibawa pulang. Kayanya habis ini mau cari di perpus daerah deh. Meski tahu sedikit ceritanya, tapi penasaran juga secara utuhnya gimana

    BalasHapus
  31. Sinetron di TVRI yang nggak aku lupakan, waktu itu masih SD dan aku inget betul siti nurbaya ini serta HIM Damsyik pemerannya. Sampe sampe dipikiranku, aku takut melihat wajah him damsyik hahahaha. Cocok gitu meraninnya soalnya

    BalasHapus
  32. Ini menurutku salah satu 'daya tarik' novel roman kuno, isinya banyak mengangkat budaya-budaya di masa lalu, jadi bisa belajar bagaimana kondisi masyarakat di era sebelum kemerdekaan. Walaupun bacanya memang butuh effort yang lumayan, tapi kadang baca-baca novel kuno ini bikin kangen juga. Apalagi banyak yang legend ya, ngga cuma Siti Nurbaya aja...

    BalasHapus
  33. Wah kalo saya jujur belum pernah nonton versi sinetronnya cuma pernah baca novelnya waktu jaman sekolah dulu. Tapi menurutku ceritanya cukup tragis sih terlebih pada zaman dahulu kedudukan perempuan tidak seperti zaman sekarang ini.

    BalasHapus
  34. Waktu di sekolah ada beberapa novelnya Mara Rusli. Dari karyanya tersebut dapat gambaran betapa kaum hawa sangat membuat lara hati ya

    BalasHapus
  35. Saya belum baca novelnya, tapi nonton filmnya berulang waktu kecil.

    BalasHapus
  36. Anak gen Z disuruh baca Novel Siti Nurbaya gimana pendapatnya ya..
    Hihihi..penasaran dengan Siti Nurbaya zaman sekarang. Mungkin pengasuhan keluarga sekarang juga uda ga relate sama keluarga zaman dulu yang nurut adat banget gini yaa..

    BalasHapus
  37. Cerita Siti Nurbaya nggak lelang dimakan zaman ya. Sampai sekarang pun cerita novelnya menarik untuk dibaca. Cerita novel punya power juga untuk mengkritik kebiasaan masyarakat. Tentunya untuk dijadikan pelajaran dan kehidupan masyarakat yg lebih baik lagi ke depannya..

    BalasHapus
  38. Baru baca sedikit saja Novel Siti Nurbaya tulisan Marah Rusli. Tapi sudah beberapa kali menonton filmnya. Saking lekatnya peran Datuk Maringgi di Him Damsyik.

    BalasHapus
  39. Selama ini cuma tahu siti nurbaya dari mulut ke mulut aja. Terus masalah jodoh yang sllu dikaitkan dgn zaman situ nurbaya..
    Ternyata menyimpan banyak kisah yg aku sendiri pun baru tahu dari sini. Jadi penasaran sama novelnya kseluruhan pengen baca

    BalasHapus
  40. Novel lama sangat bernafas dan dikenang sepanjang masa berbeda dengan zaman sekarang yang lebih pop dan banyak sekali novel di mana-mana

    BalasHapus
  41. Dulu awal masuk kuliah langsung ditanya dosen "Apa warna pita yang dipakai Siti Nurbaya?". Banyak yang asal jawab dari merah sampai biru, dan seingat saya jawabannya hijau. Novel yang satu ini sangat-sangat melekat di berbagai zaman.

    BalasHapus

Posting Komentar