Alkisah pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang bernama Dhamodara. Dia adalah penduduk Kota Raja. Suatu hari Dhamodara pulang dari tempatnya bekerja menaiki kudanya. Dia menyusuri jalananan Kota Raja, di jalan Tabib Satrio. Jalan ini ada dua arah, dan dibeberapa tempat terdapat belokan untuk memutar balik berganti arah.
Saat itu malam hari, memang Dhamodara pulang kerja agak telat saat itu. Dia hendak memutar balik, namun karena tempat memutar balik masih cukup jauh didepan, dia memilih tempat memutar yang tidak seharusnya, alias ilegal. Sebelum memutar, dia memperhatikan sekitar. Soalnya di tempat memutar illegal ini, biasanya ada prajurit Kerajaan yang berjaga dan menindak para pelanggar. Setelah melihat sekeliling dan tidak terlihat adanya prajurit Kerajaan, maka Dhamodara pun menarik tali kekang kudanya untuk memutar balik. Setelah masuk ke arah yang berlawanan, entah darimana datangnya, tiba-tiba didepan telah berdiri seorang prajurit Kerajaan. Dia melambaikan tangannya memerintahkan Dhamodara untuk meminggirkan kudanya
.
“Sial!”, rutuk Dhamodara dalam hati. Namun dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi selain memerintahkan kudanya untuk menepi ke pinggir jalan. Prajurit Kerajaan itu menghampiri menyapa sopan. “Selamat malam pak, bapak telah melanggar peraturan. Tempat itu bukan tempat untuk memutar balik, namun bapak tetap memutar balik disana. Bisa lihat Lontar Ijin Menunggang Kuda dan Lontar Kepemilikan Kudanya pak?”. Dengan tanpa banyak membantah, Dhamodara mengeluarkan semua lontar yang diminta prajurit Kerajaan tersebut, dan menyerahkannya.
“Mari ikut saya.” Kata Prajurit itu sambil memasuki halaman kedai yang sudah tutup. “Hemmm, disini rupanya mereka bersembunyi…”, guman Dhamodara dalam hati. Halaman Kedai itu memang sangat cocok jadi tempat persembunyian, karena mempunyai atap yang rendah dan bagian depannya tertutup kereta yang diparkir. Dari dalam bisa leluasa mengawasi jalanan, dan kalau ada pelanggar, bisa dengan cepat keluar dan menghentikannya.
Dhamodara sudah tahu tabiat oknum prajurit Kerajaan yang seperti ini. Meskipun mereka “menegakkan peraturan” namun dalam pelaksanaannya, urusan pelanggaran bisa selesai dengan membayar sejumlah kepeng.
Dhamodara dan prajurit itu duduk di sebuah bangku kayu, kemudian sang prajurit mengeluarkan seikat lontar. “Baik pak, bapak telah melanggar, dan menurut undang-undang kerajaan seperti yang tertulis di Lontar ini, bapak harus ke pengadilan dan membayar denda Lima Ratus Kepeng.” Demikian pembukaan yang diucapkan oleh prajurit. “Nama bapak saya catat ya”, katanya sambil mengeluarkan pisau Pangot dan siap-siap menorehkan pisau tersebut di lembar daun lontar untuk menulis nama.
“Pak, saya pilih damai aja pak…” Ujar Dhamodara dengan merendahkan nada bicaranya. “Damai gimana maksudnya?” Prajurit itu mengerutkan keningnya. “Ya diselesaikan disini aja pak, tolong dibantu lah pak…” Sejenak prajurit itu memalingkan wajahnya ke arah jalanan ramai, kemudian kembali menatap Dhamodara. Kemudian Mulutnya bergerak seperti menggumamkan sesuatu. Dhamodara kesulitan menangkap apa yang diomongkan si Prajurit itu. “Iya pak, gimana pak” Dhamodara mendekatkan kepalanya ke arah Prajurit. “Kamu mau dibantu? Mau bayar berapa?” Prajurit itu kembali berbicara namun dengan nada pelan setengah bergumam.
“Ya gimana baiknya lah pak…” Kata Dhamodara lagi.
“Ya udah, Seratus Lima Puluh Kepeng”, gumam prajurit tersebut.
“Waduh gimana pak, saya nggak ada uang segitu pak. Nih, lihat pak, saya hanya ada uang 70 kepeng pak” Kata Dhamodara sambil mengeluarkan kampil uang dari ikat pinggangnya.
Melihat itu sang Prajurit kembali memalingkan wajahnya ke arah jalan ramai, “Apa-apaan kamu, masukin lagi kampilnya!”, cetus Prajurit itu sambil tetap setengah bergumam. “Ya takutnya bapak gak percaya”, jawab Dhamodara sambil kembali menyelipkan kampil uangnya.
“Sudah, Seratus Kepeng saja.”
“Yah pak, saya kan sudah bilang, saya sudah tunjukin juga, uang saya nggak ada segitu. Itu pun sebagian buat beli makanan kuda pak”.
Setelah beberapa kali berbantahan, akhirnya mereka sepakat di harga 50 Kepeng. Dan anehnya penyerahan uang itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Padahal mereka berada di tempat yang cukup tersembunyi karena di ruangan beratap rendah dan di depannya ada kereta.
Dhamodara kembali mendapatkan Lontar Ijin Menunggang Kuda dan Lontar Kepemilikan Kudanya. Dia pun bisa melanjutkan perjalanannya pulang ke rumah.
Di atas punggung kuda, Dhamodara merenung. Mengapa prajurit itu bertingkah aneh? Dia bicara setengah berguman, sehingga kata-katanya tidak jelas. Terus ketika aku mengeluarkan kampil uang, dia memerintahkan untuk memasukkannya lagi. Uang pun diserahkannya sembuyi-sembunyi. Sungguh aneh.
Kemudian Dhamodara teringat akan bola-bola ajaib. Para penyihir di Kerajaan Tetangga sekarang ini telah mampu membuat bola-bola Kristal ajaib yang bisa merekam gambar dan suara. Kita bisa melihat apa yang tengah dilakukan seseorang dan mendengarkan apa yang dikatakan orang itu. Bola-bola Kristal ajaib ini biasa digunakan oleh pengadilan kerajaan ketika sedang mengadili perkara. Apa yang diperlihatkan pada bola Kristal itu bisa menjadi bukti tindakan kejahatan.
Hem… apa ada hubungannya dengan bola Kristal?
Dhamodara sudah beberapa kali mengalami kejadian seperti itu, dia melanggar peraturan dan di tangkap prajurit, namun urusan bisa selesai dengan membayar sejumlah kepeng. Namun biasanya, prajurit menghardik dengan tegas pada para pelanggar, mereka bersikap galak. Namun kali ini lain sama sekali. Prajurit ini justru bicara bergumam seolah omongannya tidak ingin ada yang mendengar.
Dhamodara hanya garuk-garuk kepala sambil senyum kecut: “Sontoloyo, rupanya cara mereka “Berdamai” juga telah menyesuaikan diri. Mereka sepertinya takut kelakuan mereka ada yang merekam dengan bola Kristal, aseeem, asem”. gerutunya dalam hati. Tapi hal yang menurutnya lucu ini sedikit banyak bisa mengobati kedongkolan hatinya.
Angin semilir membelai surai kuda Dhamodara, mereka berjalan memunggungi bulan…
***
Posting Komentar
Posting Komentar