Gadis cantik itu cekatan sekali. Selama kami disana, si gadis ini tak pernah terlihat duduk. Mencatat pesanan dari pengunjung yang baru datang, memasukkan daftar pesanan ke komputer sistem, mengambil makanan yang baru dimasak chef, membereskan meja yang baru saja ditinggal pengunjung, melayani pengunjung yang ada di dalam dan di luar restoran. Begitu terus tak pernah diam.
Ketika sedang mencatat pesanan di meja kami, saya perhatikan label nama yang tersemat di seragamnya. "FEM", hanya tiga huruf. Fem? itu aja namanya? atau mungkin ini nicknamenya dia saja. Begitu teman saya bertanya darimana asalnya, dari Filipina, jawabnya sambil tersenyum manis.
Oh rupanya dia semacam "TKI" gitu, tapi dalam level yang agak lebih tinggi. Mungkin dia lulusan sekolah pariwisata di Filipina atau siapa tahu punya Diploma atau malah Strata. Siapa tahu.
Dia tidak diam di satu meja lama-lama. Setelah mencatat pesanan, mengantarkan pesanan, menerima pesanan tambahan, atau sekedar menjawab pertanyaan pengunjung, dia akan beredar kembali ke semua area restoran.
Oh iya, restoran yang saya kunjungi kali ini adalah "HOOTERS", sebuah restoran asal Amerika. Ketika kami berkunjung, di restoran ada 3 orang yang berseragam seperti Fem. Dan ketiganya tampak beredar ke seantero restoran dengan gesit.
|
HOOTERS, di Clarke Quay, Singapura |
Saya dan rekan-rekan kerja makan malam di
HOOTERS saat saya berkesempatan ke Singapura dalam rangka kunjungan kerja. Dan kunjungan saya ini memberikan banyak sekali pengalaman dan pelajaran buat saya. Salah satunya ya ini, betapa etos kerja yang tinggi dibutuhkan untuk bisa survive di negara semacam Singapura, dimana persaingan sedemikian ketat. Orang-orang dari berbagai bangsa datang kesini untuk mencari penghidupan. Yang paling mudah dibedakan adalah orang Melayu, orang India atau Bangladesh atau searea itu lah, yang tipe wajahnya begitu, dan orang Cina. Nah orang Cina ini sendiri mungkin juga berasal dari berbagai negara, mungkin kelahiran Singapura, mungkin dari Malaysia, Indonesia, dsb, tapi ya mereka keturunan Cina. Dan tak sedikit pula orang-orang bule.
Kegesitan yang sama juga saya temui hampir di semua restoran yang saya kunjungi. Pada saat makan siang, kami makan di restoran Jepang bernama Mikawa. Saya perhatikan, para pelayannya juga kurang lebih sama dengan Fem, gesit dan cekatan. Mereka tidak diam di satu tempat, tapi beredar kesana kemari.
Di negara yang minim sumber daya alam dan mengandalkan perdagangan dan pariwisata, maka pelayanan prima dan kepuasan pelanggan tentulah sangat diutamakan. Sehingga wisatawan-wisatawan akan puas dan terkesan. Dan nantinya mereka akan kembali lagi, dan membawa teman-temannya yang lain.
Ada satu hal lagi yang menarik ketika saya memperhatikan kehidupan sehari-hari di Singapura, yakni ketika naik tangga dan eskalator. Ketika naik tangga atau eskalator, secara sadar orang akan mengambil sisi kiri, dan memberikan ruang kosong di sisi kanan. Ruang kosong ini tujuannya untuk memberi jalan bagi orang yang mau menyalip. Bayangkan, di eskalator saja orang suka nyalip, karena banyak sekali orang-orang yang jalannya cepat sekali. Untuk ukuran orang Indonesia, mungkin itu dianggap tergesa-gesa. Tapi untuk ukuran mereka, ya itu normal saja, orang jalannya secepat itu.
Melihat semua kebudayaan dan semangat kerja yang seperti itu, saya jadi sadar, tak heran bagaimana Singapura bisa menjadi seperti sekarang ini. Mudah-mudahan Indonesia juga bisa menemukan style kerja mereka sehingga tidak ketinggalan dengan negara-negara tetangganya.
|
Clarke Quay, pusat kuliner di Singapura |
|
|
|
|
|
|
Hiasan di dalam restoran HOOTERS yang rada "nakal" |
|
Hiasan "Nakal" lainnya |
|
Sejarah HOOTERS |
|
Merchandise HOOTERS |
|
Merchandise HOOTERS |
|
Menu di restoran Mikawa |
|
Kepiting Srilangka yang disajikan dingin di Lee Do Restaurant |
|
Mikawa |
|
Fem |
Baca juga:
-
Bugis Street, pengalaman saya belanja souvenir murah di pusat souvenir Bugis Street Singapura.
Posting Komentar
Posting Komentar