![]() |
Film The Social Dilemma |
Ruslan dan Amalia
Alkisah Ruslan jatuh hati pada Amalia, gadis tercantik di kelasnya. Untuk mendapatkan perhatian Amalia, Ruslan melakukan segala hal. Mulai dengan mencari tahu hobi Amalia, makanan kesukaannya, sampai warna favoritnya pun diselidiki juga. Untuk mendapatkan semua informasi itu, Ruslan meminta bantuan Rizka, sahabat Amalia.
Ruslan mendapatkan semua informasi berharga tentang Amalia itu tidak dengan cuma-cuma. Ruslan mendapat info dari Rizka dengan imbalan baju baru, tiket konser, dan barang-barang lain yang menjadi idaman Rizka.
Rupanya taktik Ruslan untuk mendapatkan perhatian Amalia, dipraktekkan juga oleh perusahaan-perusahaan dewasa ini. Mereka akan melakukan berbagai cara untuk mendapatkan perhatian para "Amalia", masyarakat yang berpotensi jadi konsumennya.
Kalau Ruslan berusaha menggali informasi tentang Amalia dengan tujuan untuk memikat hati sang gadis pujaan, maka perusahaan-perusahaan akan menggali informasi tentang para "Amalia" yakni konsumen dan calon konsumen, dengan tujuan mendapatkan keuntungan dari bisnisnya.
Dari mana perusahaan itu mendapatkan informasi-informasi berharga para "Amalia"?
Kalau jaman dulu, perusahaan melakukan analisa pelanggan dan calon pelanggan itu dengan mengadakan riset pasar, menerjunkan orang ke masyarakat untuk melakukan survey, melakukan observasi di lokasi-lokasi tertentu, dsb.
Namun di jaman internet dan media sosial sekarang ini, hal itu bisa dilakukan dengan lebih mudah lagi. Cukup hubungi perusahaan media sosial, maka data tentang pelanggan dan calon pelanggan mudah didapatkan.
Kita kembali ke kisah Ruslan dan Amalia. Dari ketiga tokoh itu, Ruslan, Amalia, dan Rizka, jika kita ibaratkan dengan dunia media sosial, kira-kira siapa mewakili siapa?
...
...
...
Yup, anda benar ^_^
- Amalia = Kita, para pengguna smartphone
- Ruslan = Perusahaan/Bisnis yang ingin memasarkan produk/jasanya
- Rizka = aplikasi media sosial
Rizka bisa tahu segala hal tentang Amalia karena Rizka adalah sahabat Amalia. Sebagai sahabat, Rizka menjadi tempat curhat Amalia. Ketika sedang sedih, galau, senang, khawatir. Amalia juga tentu akan cerita tentang aktifitas sehari-harinya kepada Rizka. Hari Minggu kemarin dia kemana, makan apa, mengapa makan itu, beli sepatu model begini, kenapa senang sepatu model begini, dsb.
Amalia membagikan semua hal tentang hidupnya kepada Rizka dengan kerelaan dan malah senang karena ada tempat curhat. Tak heran kalau Rizka tahu tentang Amalia luar dan dalam.
Begitu pula dalam bisnis media sosial, Amalia (kita, para pengguna smartphone) akan dengan suka rela dan senang hati membagikan kehidupan kita kepada Rizka (media sosial). Hari Minggu kemarin kita kemana, makan apa, mengapa makan itu, beli sepatu model begini, kenapa senang sepatu model begini, dsb.
Sehingga ketika Ruslan (Perusahaan yang mau beriklan) mau "memikat hati" Amalia (kita, konsumen), maka Ruslan akan "membeli" informasi tentang kehidupan kita dari Rizka (media sosial).
***
Film The Social Dilemma
Dalam film dokumenter berjudul "The Social Dilemma" (TSD) yang baru-baru ini tayang di Netflix, dibahas tentang "dapur" perusahaan-perusahaan media sosial.
Dari situ kita jadi tahu, bahwa semua hal-hal menarik, menyenangkan, dan seru, yang biasa kita lakukan di media sosial rupanya ada hubungannya dengan cara mereka mendapatkan uang.
Pernah nggak sih kita bertanya, bagaimana layanan media sosial ini mendapatkan uang? sementara mereka memberikan semua layanan kepada kita secara gratis. Kok bisa?
![]() |
Fitur-fitur media sosial |
Pada film TSD dipaparkan bahwa tombol like, tombol share, filter lucu-lucu, animasi lucu-lucu, rekomendasi video, rekomendasi, foto, grup, meme, semuanya itu ada tujuan dan kegunaan tersendiri bagi perusaan media sosial. Intinya, apa pun yang membuat kita betah berlama-lama main media sosial, itu merupakan cara media sosial mendapatkan informasi tentang kita. Itu sama dengan Amalia curhat ke Rizka, sehingga Rizka semakin tahu tentang Amalia. Dan informasi tentang Amalia, berarti keuntungan buat Rizka, dari Ruslan.
Sisi positif media sosial
Bak pisau bermata dua, teknologi bisa mendatangkan kebaikan dan juga keburukan. Dalam hal media sosial, kebaikan yang bisa dipetik juga banyak sebenarnya. Misalnya saja, melalui media sosial, dua orang yang lama terpisah bisa bertemu kembali, orang tua bertemu kembali dengan anaknya, saudara kembar yang terpisah ketika bayi bisa bertemu kembali, dsb.
Hal positif lainya misalnya ketika menggalang dana dan dukungan untuk tetangga yang kebetulan kaum dhuafa, ketika anaknya sakit keras. Penggalangan dana menjadi lebih mudah dan bisa menjangkau lebih banyak orang dengan bantuan media sosial.
Melalui media sosial terbentuklah komunitas-komunitas dengan berbagai latar belakang kesamaan. Komunitas petani, komunitas pedagang, komunitas penyuka tanaman hias, apa pun. Yang melalui komunitas daring ini orang bisa saling berbagi ilmu dan pengalaman, berjualan, janjian untuk ngumpul, dll.
Sisi negatif media sosial
Namun siapa nyana, semua gimmick, "permen" yang ditawarkan social media, itu ada efek sampingnya.
Pada awalnya semua fitur seru di media sosial itu merupakan cara yang dikembangkan oleh perusahaan media sosial untuk membuat penggunanya betah berlama-lama menggunakan aplikasi besutannya. Dan fitur-fitur seru ini merupakan hasil dari analisa yang melibatkan banyak ahli, termasuk ahli psikologi.
Dalam dunia media sosial dan dunia startup pada umumnya dikenal istilah growth hacking. Growth Hacking adalah metoda-metoda untuk meningkatkan jumlah pengguna layanan kita, dan bagaiman supaya pengguna yang sudah ada tidak berhenti dan tidak meninggalkan layanan kita.
Berkat growth hacking inilah lahir fitur-fitur unik di media sosial, yang menjadikan orang seolah 'kecanduan' media sosial sebagaimana orang kecanduan rokok atau bahkan kecanduan narkoba.
Yang namanya kecanduan itu biasanya negatif, dan memang orang yang kecanduan main media sosial itu jadi "sakit". Dia tidak bisa melewatkan waktu sehari pun tanpa mengakses media sosial.
Efek dari kecanduan itu kita juga semua maklum, ada banyak sekali. Contohnya, hubungan fisik jadi renggang. Satu keluarga sedang makan di meja makan, tapi masing-masing menatap layar Hp. Tak ada obrolan hangat tentang kegiatan hari ini atau rencana hari esok, atau gelak tawa akibat kelucuan anak, atau bahkan pertengkaran kakak adik. Badannya duduk mengelilingi meja makan, namun perhatiannya terhisap masuk ke layar hp.
Remaja, korban media sosial paling parah
Siapa sangka, yang mengalami akibat paling merusak dari media sosial adalah anak-anak beranjak remaja, bukan pemuda atau orang dewasa.
Sebagaimana kita ketahui bahwa anak usia puber, itu butuh pengakuan dan penerimaan dari lingkungan sekitarnya.
Disisi lain Internet adalah "dunia ghaib", dimana orang bisa saling berinteraksi tanpa harus berhadapan secara fisik. Kondisi berinteraksi tanpa berhadapan ini terkadang membuat orang jadi manusia liar yang tidak punya tatakrama. Karena tidak berhadapan secara fisik, maka ketika berkomentar atau berinteraksi bisa sangat buas. Kalimat dan kata-kata tidak beradab dapat dengan mudah dilontarkan.
Apa jadinya ketika remaja yang sedang labil, masuk ke "dunia ghaib" internet yang buas?
Anak-anak remaja rentan menjadi korban perundungan. Atau jangankan perundungan, komentar-komentar "biasa" pada postingan si anak remaja di media sosial, dapat direspon dengan dalam olehnya. Atau kalau pakai istilah sekarang, anak remaja itu kalau main sosial media, mereka "baperan".
Lebih parah lagi perundungan atau sekedar komentar miring ini tidak kenal tempat dan waktu, karena dilakukan di media sosial. Dan perundungan ini juga dapat menyebar lebih luas karena fitur share yang ada di media sosial. Akibatnya korban perundungan akan menanggung beban penderitaan mental yang luar biasa, yang tak jarang berakhir dengan bunuh diri.
![]() |
Angka bunuh diri remaja di AS |
Dalam film TSD dipaparkan, bahwa di Amerika Serikat angka kematian remaja akibat bunuh diri, dalam rentang waktu dekade 2001-2010 dibandingkan dengan dekade 2011-2020, persentasenya meningkat tajam. Pada remaja usia 15-19 tahun terjadi peningkatan sebesar 70%, dan yang menakutkan adalah pada remaja usia 10-14 tahun, peningkatan angka kematian akibat bunuh dirinya adalah 151%.
Apa itu maksudnya?
Kita ambil contoh yang anak remaja usia 10-14 tahun, yang angkanya 151%. Kalau misalnya (ini contoh ya), dari tahun 2001-2010, selama 10 tahun itu ada 100 anak remaja 10-14 tahun yang bunuh diri, maka pada rentang 2011-2020, ada 251 anak remaja yang bunuh diri. Mengerikan bukan?
Ketika diselidiki lebih jauh, angka bunuh diri ini mulai menunjukkan peningkatan pada tahun 2009-an, dimana media sosial mulai marak. Ya, yang namanya media sosial sudah ada sebelum itu. Kita tahu bahwa facebook sudah ada sejak 2005, twitter juga sudah ada sejak 2005, dan sebelumnya ada myspace dan friendster (yang baca friendster kemudian tersenyum, ketahuan usianya ^_^).
Namun sebelum 2009, sarana untuk mengakses media sosial masih terbatas, karena harus menggunakan komputer yang terkoneksi ke intrenet. 2009 adalah tahun kelahiran smartphone yang memungkinkan kita menginstall berbagai aplikasi media sosial ke Hp kita. Dan smartphone bisa dimiliki oleh siapapun di usia berapapun, dan otomatis mereka bisa mengakses dan main media sosial.
Mulailah terjadi dampak mengerikan pada anak-anak remaja kita itu.
And then what?
Well, bagaimanapun kehidupan kita sekarang ini tidak bisa dipisahkan dari media sosial. Kita tidak bisa mengambil langkah ekstrim dengan membuang hp kita dan hidup tanpa hp. Menurut saya itu sama halnya dengan membuang pisau besi kita dan kembali mengasah batu dan berburu banteng.
Teknologi ada untuk meningkatkan taraf hidup Manusia. Kita manfaatkan itu semaksimal mungkin. Kita manfaatkan untuk hal-hal yang memberikan nilai tambah pada diri, keluarga dan lingkungan kita.
Untuk membendung dampak negatifnya, pertama-tama kita harus menyadari bahwa teknologi itu punya sisi gelap. Sisi gelap ini yang harus kita tangani dengan bijak. Jangan sampai kita kecanduan kronis pada media sosial. Yang mengakibatkan hal-hal buruk terjadi pada diri kita.
Dan setelah kita berhasil menghalau sisi gelap teknologi dari diri sendiri, kita kemudian melakukannya pada orang terdekat kita, keluarga, dan kemudian lebih luas lagi. Kita ingatkan mereka untuk bijak bermedia sosial.
Malah kalau ke anak kita, yang kita bisa atur, kita berlakukan peraturan penggunaan Hp. Batasi durasinya, batasi apa yang diaksesnya, apapun, sehingga dapat meminimalisir dampak negatif yang timbul akibat media sosial. Di filme TSD, petinggi-petinggi raksasa media sosial yang diwawancara, menuturkan bahwa mereka melakukan pembatasan penggunaan Hp pada anak-anaknya, dengan tujuan melindungi mereka. So, kalau orang yang membuat media sosial aja menjaga anaknya dari dampak negatif sosmed, apalagi kita. Betul?
Baik, demikianlah [bukan]resensi film The Social Dilemma dari saya. :)
Mudah-mudahan dapat menggugah kesadaran kita semua akan dampak negatif dari media sosial.
Kalau ingin tahu lebih detail, silahkan tonton aja filmnya.
Mari bijak bermedia sosial.
***
Tertarik dengan psikologi wanita & pria? silahkan baca:
Wanita itu Pasif Aktif
Naluri Agresif Protektif Laki-laki
***
Kredit foto dari atas ke bawah:
- film The Social Dilemma
- like and share facebook page
- film The Social Dilemma